3. Perhatian yang terpendam

7K 1.4K 282
                                    

Vote yuukkk ✨
Komen jan lupaaa 😬

Panggil saya Abram.

Tiga kata itu terus saja terngiang-ngiang di kepala Luna. Tadi saat makan siang, Adnan tak memberinya kesempatan bicara lagi, pria itu berdiri dan pergi, meninggalkannya dan Renita yang nampak sama terkejut.

Sekarang, Luna sudah duduk di dalam mobilnya bersama sang sopir dan asistennya. Di sepanjang perjalanan dia hanya melamun. Melamunkan Adnan yang minta dipanggil Abram.

Apakah pria itu masih mengingatnya?

"Gimana tadi mbak makan siang sama pak Adnan?"

"Luar biasa."

Lala terkikik geli. Bosnya yang cantik ini tidak pernah menyimpan suatu rahasia. Kalau dia suka, ya bilang suka. Kalau dia tidak suka, maka akan berkata sejujurnya pula. Dengan Ben contohnya. Setiap habis bertemu pria itu, Lala pasti selalu mendengar keluhan dari bos cantiknya ini.

"Ganteng banget yah, Mbak. Tapi sayang, nyebelin."

"Emang kaya gitu dari dulu juga. Dia emang nyebelin, galak, sinis. Tapi itu yang bikin dia jadi menarik."

"Memangnya mbak dulu kenal sama pak Adnan?"

"Iya, dia senior di SMA saya."

"Wow, sempitnya dunia ini."

Betul, dunia sangat sempit. Sampai yang berjarak ribuan kilo pun bisa dipertemukan lagi.

"Sekarang mbak sama pak Adnan udah sama-sama jadi orang sukses."

"Ah enggak. Saya bukan apa-apa, La. Cuma perempuan yang lagi senang-senang."

"Si mbak bisa aja. Padahal piala penghargaannya udah banyak di rumah."

Luna hanya tersenyum menatap ke luar jendela. Ya, piala penghargaannya memang sudah banyak. Tapi, itu tidak menjadikan Luna melangit. Perasaannya tetap sama seperti dulu saat baru menginjak dunia hiburan.

Luna hanya seorang wanita yang mencari kesenangan.

***

Pulang ke apartemennya setelah menjalani hari yang cukup menyenangkan. Adnan membawa langkahnya ke dapur, mencuci tangan, lalu mengambil air putih untuk ia minum. Setelah melakukan rutinitasnya sehabis pulang kerja, pria itu berjalan menuju balkonnya, melihat pemandangan ibu kota dari ketinggian saat hari mulai gelap adalah salah satu hal yang dia sukai. Senja hampir hilang di ujung sana.

Embusan angin dibiarkan menerpa wajahnya. Rambutnya yang sudah tidak serapih tadi pagi pun ikut bergerak karena terpaan angin. Seperti biasa ekspresinya tak terbaca. Hanya kedua matanya yang sesekali mengerjap pelan.

"Kak Abram, saya Luna Kinandya, siswi kelas satu. Minta foto bareng, dong, disuruh temen-temen. Saya lagi main TOD."

"Abram?"

"Iya, namanya Adnanta Abram, kan? Jadi saya panggil Abram, biar berbeda dari yang lain."

Entah sengaja atau tidak. Sebelah bibirnya terangkat, menunjukkan segaris senyum yang disembunyikannya seharian. Sekelebat bayangan masalalu yang dulu sempat membuatnya kesal sekarang malah terasa lucu. Gadis yang sering ia dengar namanya dari mulut laki-laki di kelasnya malah meminta foto padanya. Nyalinya sangat besar, padahal semua juga tahu kalau seorang Adnan memiliki sikap yang buruk pada semua orang tak terkecuali wanita.

Tapi tetap saja, sekali ditolak, gadis itu tetap tidak menyerah.

"Yaudah deh kalau gak boleh foto bareng. Kita kenalan resmi aja."

Past, Present, Future [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang