5. Panggilan spesial

6.9K 1.4K 214
                                    

Vote dulu yuuuk ✨
Jangan lupa komen yaah, biar semangat update 🔥

Seperti perkiraan Luna, proses syuting tidak berjalan cepat meski tidak terdengar protes dari seorang Adnan. Sepertinya karena sibuk memperhatikan anak laki-laki yang main mobil-mobilan di depannya itu, membuat Adnan tidak terlalu peduli dengan proses syuting. Luna ingin cemburu tapi percuma. Dia tidak punya hak secuil pun.

Harusnya Adnan memberitahu kalau dia sudah menikah. Kenapa pria itu diam saja saat ditebak bahwa dirinya masih single. Obat tetes mata yang sudah diteteskan ke matanya, nyatanya tidak membuat rasa perih itu hilang. Untungnya Luna yang terbiasa akting, masih bisa tetap tersenyum lebar di depan kamera seakan tidak terjadi apa-apa.

Sekarang Luna sedang duduk. Bagiannya sudah selesai untuk saat ini. Di sana sedang giliran syuting bagian ekspedisi. Lalu dijeda istirahat karena hari sudah siang. Mereka menunaikan shalat dzuhur, dilanjut makan siang.

Luna bersama Lala datang ke restoran terdekat dari lokasi syuting. Niatnya untuk menghindari Adnan bersama putranya yang lucu. Setidaknya Luna tidak ingin melihat mereka. Tapi oh tapi, dari pintu masuk, Luna yang sudah duduk melihat Renita menggandeng anak kecil yang sejak tadi pagi ia perhatikan. Lalu di belakang mereka ada seorang pria yang wajahnya tak diisi ekspresi.

Mereka semua berjalan mendekat ke arah mejanya.

Kenapa dunia selalu terasa begitu sempit, sih?

"Siang, Mbak Luna."

Luna menjawab sapaan Renita dengan lembut. Ditatapnya lagi wajah anak kecil berpipi chubby dengan kulit putih itu. Lucu sekali, bagaimana bisa Luna tidak menyukainya?

"Anaknya pak Adnan, yah?" tanya Luna, basa-basi. Sekalian memastikan, siapa tahu dia hanya salah sangka.

"Bukan, Mbak."

KABAR BAIIIK.

Kali ini rasanya seperti ada kembang api yang meledak-ledak di jantungnya. Wajah Luna yang kusut langsung sumringah. Bahkan matanya berbinar-binar.

"Wah, saya kira anaknya pak Adnan," pekiknya, sambil melirik Adnan yang sudah duduk pada kursi sebelah. Ya, ternyata Adnan tak berminat bergabung duduk di mejanya. Tapi tidak papa, mereka masih duduk sebelahan.

Renita tersenyum, lalu pamit untuk bergabung duduk dengan atasannya, membawa serta anak kecil yang sibuk memainkan mobil-mobilan kecilnya yang berwarna biru.

Luna menopang dagu, wajahnya sengaja dihadapkan ke arah Adnan yang sibuk melihat layar ponselnya. Lihatlah pria itu, wajah seriusnya selalu bisa membuat jantungnya berdebar-debar. Luna kadang penasaran, bagaimana bentuk senyuman manis seorang Adnan. Apakah dia akan sanggup menerimanya? Luna harap dirinya tidak pingsan kalau suatu hari Adnan memberinya senyuman.

Tapi... kapan kira-kira itu terjadi?

"Papa, ipis."

Fokus Luna beralih ke anak kecil yang duduk pada kursi khusus balita itu. Dia memanggil Adnan papa. Tapi katanya Adnan bukan ayahnya. Jadi apa sebenarnya yang terjadi?

Suara cadel yang baru anak itu keluarkan nampaknya membuat Adnan bingung. Renita juga terlihat tidak mengerti.

"Apca ipis, papa."

Luna lihat Adnan mencondongkan tubuhnya, mendekati si balita dengan kernyitan dahi. Alisnya kian bertaut.

"Kamu ngomong apa, sih?"

Luna tak tahan. Ia tersenyum geli. Ternyata begitu yah raut bingung seorang Adnan. Menggemaskan sekali.

"Ren, dia ngomong apa?"

Past, Present, Future [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang