Aria

777 26 10
                                    

Si cowok gay, atau sekarang pacar pura-puraku bener-bener nyebelin, sumpah deh. Kan dia cuma pacar pura-pura, tapi dia mau tahu keluargaku lah, ulang tahunku lah, semuanya deh. Entah mau dipake buat apa tuh dataku, mungkin mau dijual ke fans-fansku kali ya. Kan lumayan tuh, bisa dapetin duit, siapa coba yang nggak mau data tentang Aria?

Aduh... kayaknya kesannya aku sombong banget ya, tapi mau gimana lagi, begini lah jadi orang cantik, semua orang pengen data tentang dirimu, bahkan mau ngelakuin apa pun biar bisa tahu sesuatu tentangmu.

“Gue anterin lo yuk,” ajak si cowok gay.

Eh, kayaknya aku harus stop manggil dia cowok gay deh, dia kan punya nama. Umm.. siapa ya? Kok aku sudah lupa lagi ya? Namanya tuh kayaknya mirip-mirip sama karakter film disney deh, tapi siapa ya? Mickey? Donald? Goofy? Kayaknya nggak mungkin deh cowok ini pake nama itu, siapa ya?

“Lo kenapa?” tanyanya melihat ekspresi wajahku yang bingung.

“Umm... nggak papa sih, gue boleh nanya satu hal nggak?” tanyaku padanya.

“Boleh lah, sayang. Mau nanya apa?”

Aku hanya berharap dia nggak marah aku menanyakan hal ini padanya. “Umm... nama lo siapa ya?” tanyaku sedikit ragu-ragu.

Matanya terbuka lebar-lebar, mulutnya menganga. “Hah?! Lo nggak tahu nama gue? Bukannya kemarin gue udah kasih tahu ya?!”

“Gue lupa,” jawabku santai.

Dia menepuk-nepuk dahinya dengan tangannya. “Sumpah deh. Memangnya nama gue segitu nggak pentingnya ya?”

“Udah deh, nggak usah banyak ngoceh. Nama lo siapa?”

Dia mendesis. “Peter! Peter! P. E. T. E. R. Peter! Lo inget ya baik-baik!”

Tuh kan namanya kayak karakternya film disney! Peter pan! Aku cuma nggak kepikiran aja sampai situ. Peter and Wendy, peterpan. Ya harus kuingat-ingat. Salah dia juga, wajahnya nggak seganteng Lee Min Hoo, atau Choi Si Won, kalo ganteng banget kan aku pasti inget, cuma mirip aktor Korea kacangan.

“Oke, gue ngerti, Peter,” kataku.

Si Peter masih tampak kesal padaku, tapi bodo amat sih, aku nggak peduli. Dia mengantarkanku ke kelasku, sebenarnya hal yang nggak perlu dia lakukan, tapi toh dia mau kita kelihatan pura-pura pacaran, jadi yah aku ngikutin kemauannya deh. Padahal kayaknya semua orang juga sudah tahu tanpa perlu mengantarkanku ke kelas segala. Toh, waktu aku turun dari mobilnya, semua orang ngelihatin kami dengan syok dan berbisik-bisik, aku yakin nggak lama juga ngosipnya bakal menyebar.

“Udah sampai kelasmu nih, sayang,” kata Peter ketika kami sampai di kelasku.

Karena banyak yang ngelihatin, aku tersenyum padanya. “Thank you ya,” kataku, sebisa mungkin nggak usah nyebut kata sayang deh, jijik.

“Selamat kelas ya, sayang,” katanya mesra.

“Iya, kamu juga,” jawabku.

Si Peter nggak puas dengan jawabanku, dengan mulutnya dia mengatakan ‘mana sayangnya’ tanpa mengeluarkan suara.

“Sayang,” tambahku, biar dia puas.

Puas mendengarku memanggilnya sayang, Peter pun ngacir ke kelasnya. Aku menghela nafasku, dan membalikkan badanku untuk masuk ke kelas. Begitu membalikkan badan, yang kulihat malah bukan kelas, tapi sepasang mata menatapku tajam, meminta penjelasan.

“Aria? Really? Sejak kapan lo sama Peter?” tanya Angel penuh selidik.

Sejak dia mencoba menjebakku dengan si jelek, semua sih kalo dipikir-pikir gara-gara kebodohan Angel. Tanpa mengacuhkannya, aku menarik badannya kesamping, supaya aku bisa lewat dan duduk di bangkuku.

“Aria! Jawab gue!” omel Angie sambil mengikutiku.

Aku meletakkan tasku di kursiku, lalu berbalik badan, menatapnya. “Sejak lo jebak gue sama makhluk paling jelek sedunia,” bisikku pelan, supaya nggak ada yang ngedengernya selain Angel.

Mendengar bisikanku, Angel yang tadinya meminta penjelasanku jadi nyengir selebar-lebarnya. “Nggak sejelek itu juga kali, Ri.”

Aku menatapnya sinis. “Ya udah, lo jadian sama dia sana.”

Angel langsung speechless, kapok dia. Giliran disuruh jadian nggak mau. “Bukan buat jadian juga sih, Ri.”

“Tuh kan, dia jelek. Ngaku aja deh,” tukasku.

“Sori lah, Ri. Namanya juga taruhan,” Angel nyengir lebar lagi. “Tapi gue jodohin sama Aldi, kok lo malah nongolnya sama Peter sih? Gila, dari kodok dapet pangeran.”

Aku tertawa kecil. “Dia bukan Aldi yang berubah jadi pangeran ya, Ngel.”

“Ya itu sih gue tahu, mana mungkin Aldi bisa jadi pangeran, di dunia nyata sih, kodok tetap aja kodok,” kata Angel tanpa merasa bersalah sedikitmu, membuatku tertawa-tawa, dia nggak kalah jahatnya kalo ngatain orang jelek. “Jadi gimana ceritanya lo bisa bareng sama Peter?”

“Hmm... gimana ya? Ya pokoknya gitu deh. By the way, kok lo bisa kenal sama Peter sih?” Aku bertanya balik.

Angel menatapku dengan sinis. “Ya ampun, stress gue lama-lama sih. Aria! Peter tuh cowok ganteng yang selalu gue omongin ke elo! Kapan sih lo bakal dengerin gue?” tanyanya memasang muka desperate dan pasrah.

Bukannya merasa bersalah, aku malah tertawa melihat ekspresi Angel, aku jahat juga ya. “Sabar ya, Ngel,” kataku sambil mengelus-elus kepalanya.

Angel menepis tanganku sambil mendesah. “Capek banget sih, sahabatan sama lo,” omelnya.

Aku mencibir. “Cih! Kemarin aja lo mohon-mohon sama gue, gue ke toilet sebentar aja dibilang kangen. Giliran nggak butuh, capek sahabatan sama gue,” sindirku.

Angel nyengir lebar lagi, dia mengibas-ngibaskan tangannya. “Yang lalu biarlah berlalu lah, Ri. Yang penting kan kita happy,” katanya sambil nyengir lebar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2012 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Double FaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang