Bab 11 Kau Berpotensi

119 41 0
                                    


Kekhawatiranku berlebih, karena perasaan itu tak pernah hilang. Setelah kau mulai mengerti tentang bagaimana seharusnya kau merasa tentang dirimu, dan kepercayaan diri itu terbentuk dengan sendirinya. Perasaan yang kudapatkan dengan bikini itu datang, dan tak pernah meninggalkanku. Bahkan setelah seminggu lewat dan aku tak pernah lagi merasa buruk tentang diriku sendiri. Dan aku bersyukur karenanya.

Setelahnya aku tak pernah lagi meragukan apa yang ingin kupakai dan bagaimana aku ingin menjadi. Aku tak perlu khawatir apakah warna baju ini akan terlalu terang dan mencolok perhatian, selama aku menyukainya dan cukup sopan untuk dikenakan di kelas, sisanya tak menjadi masalah. Ini seperti menunjukkan jati dirimu pada orang-orang. Aku akan membiarkan mereka melihat seperti apa diriku sebenarnya.

Aku kemeja hijau tua dengan motif benda-benda otentik seperti telepon genggam kuno dan teko, yang lalu kupadukan dengan rok bahan wol coklat selutut. Aku memoleskan lipstik merah bata, dan mengepang rambut dengan cekatan sebelum keluar dari kamar.

Hari Kamis merupakan hari yang santai, dimana aku hanya memiliki satu kelas, yaitu 'Ilmu Periklanan'. Ya, 'Ilmu Periklanan' sedikit banyak berhubungan dengan jurnalisme, namun tidak secara langsung. Dan karena ada yang berpendapat bahwa periklanan tidak berhubungan jurnalisme, bidang satu ini dijadikan pelajaran pilihan. Dalam kampus, pelajaran digolongkan jadi dua: pelajaran tetap dan pilihan. Pelajaran tetap berarti kelas yang wajib kau ikuti suka atau tidak suka-- kalau kau ingin lulus, sedangkan pelajaran pilihan berarti kau bisa memilih untuk tidak mengikuti kelas ini, selama kau menggantinya dengan mengikuti pelajaran lain yang tergolong satu jenis.

Tapi 'Ilmu Periklanan' adalah kelas paling santai diantara yang lainnya, dan semenjak ia menjadi favorit semua orang, hampir seluruh anak kelas memilih kelas ini. Sehingga tak ada bedanya dengan suasana kelas wajib.

Dua jam terasa cepat ketika kau menyukai isi pelajaran. Dan aku hendak berdiri ketika Melly Ho datang menghampiriku.

"Hanna," lambainya. Ia menyelip diantara meja dan kursi kosong, bergerak ke arahku. "Mm, aku ingin bertanya sesuatu," gumamnya.

"Ya."

"Aku ingin tahu, apa kau ada waktu luang hari ini," Ia mengatakannya dengan malu-malu, sedikit canggung. Selama tiga setengah tahun bersama dalam satu kelas, kami hampir tak pernah bicara kecuali kalau ada perlu.

"Eh ya, kenapa?"

"Apa...kau bisa membantuku berdandan?" Pipinya memerah, "Kevin akan membawaku makan malam bersama orangtuanya."

"Ah, ya," aku hampir tak memercayai telingaku, "Tapi kenapa? Kupikir kau sendiri pandai berdandan."

"Tapi beda selera dengan Mamanya. Mama Kevin tipe yang lebih suka pada hal-hal klasik, hampir sama sepertimu. Kurasa selera kalian bahkan sama," Ia menjelaskan, kemudian menyadari sesuatu, "Ah, maksudmu selera kalian bagus. Kau tahu, sesuatu yang klasik selalu tak pernah basi."

Tak masalah bagiku kalau seleraku sama dengan wanita paruh baya, dan lagipula aku tak lagi merasa malu menunjukkan pilihanku pada dunia. Model, pilihan, pakaian dan dandananmu menunjukkan jati dirimu.

Melly membawaku ke kamar asramanya. Ia seperti kebanyakan murid-murid lainnya, tinggal di asrama. Seharusnya aku juga mendapat kamar asrama, tapi murid Jinan jauh melebihi jumlah kamar yang bisa menampung, dan di hari pertama aku menginjakkan kaki di Jinan, aku termasuk yang datang hampir paling akhir. Dan menjadi orang yang datang terakhir selalu tak dapat bagian. Jadi Papa dan Mama mau tak mau mengeluarkan biaya lebih untukku menyewa kamar kosong dekat universitas.

Satu kamar asrama memuat empat siswa, dan Melly Ho mengklaim kalau kedua teman kamarnya sedang kelas, dan satu lainnya takkan pulang sebelum malam, jadi akan ada ruang untuk kami berdua.

Mereka menempel pintu, dinding hingga langit-langit seluruhnya dengan warna merah muda. Sunggu kamar yang betul-betul feminim. Dengan masing-masing meja belajar di bawah, lalu kasur di atasnya. Untuk naik, kau butuh memanjat tangga kecil di setiap kasur. Mereka menyulap kamar hingga menjadi tempat yang nyaman.

Melly Ho membuka lemarinya, dan mengeluarkan segala gaun yang ia punya, menumpuknya di atas meja, menggantungnya di tiang besi kasur, dan menyuruhku memilih.

"Sejujurnya, gaunmu bagus-bagus."

"Ya, tapi aku ingin tahu yang mana akan kau pilih kalau kau menjadiku."

"Kalau aku menjadimu, aku mungkin akan memilih cheongsam yang satu ini," aku menunjuk cheongsam campuran hijau-hitam-merah gelap dengan motif bunga krisantinum di bahu kirinya dan menjulur ke bawah.

"Lalu kau bisa kenakan ini di atasnya," aku melepaskan selendang hijau kebiruan yang saking tipisnya lebih seperti serat-serat benang yang dijahit menjadi satu, dan sekelompok mawar merah muda dijahit di atasnya, tepat berada di atas bahu ketika dikenakan. Namun hanya di sisi kiri, sedangkan sebelahnya lagi berupa kain polos yang anggun.

"Ini akan bagus," komentar Melly Ho, dan ia bergegas memakainya di kamar mandi, tanpa berkata lebih banyak. Aku tak tahu apa ia akan menerimanya, karena cheongsam bukan sesuatu untuk menggambarkan Melly Ho, jadi kupikir akan lebih baik kalau memberinya tambahan selendang yang lebih menggambarkan dirinya.

"Hanna!" pekik Melly Ho begitu keluar dari kamar mandi. "Aku tak tahu kalau memadukan cheongsam seperti ini akan bagus!"

"Putar untukku," aku tertawa.

Dan ia berputar untukku, terlihat anggun dalam balutan cheongsam, dan selendang yang ia kenakan jatuh begitu menyatu dengannya.

"Lipstik apa yang akan kau kenakan, Hanna?" Ia memiliki sekotak lipstik yang semuanya berbeda warna.

"Bagaimana denganmu?" AKu balik bertanya, "Lipstik mana yang akan kau kenakan?"

Ia menatapku kebingungan sekaligus ragu, mungkin bertanya-tanya mengapa aku membiarkannya memilih.

"Mungkin koral," ia ragu-ragu.

"Kalau begitu warna koral," aku menyetujui.

Melly masih menatapku ragu-ragu, lalu memoleskannya perlahan. "Kau tahu, seorang teman mengajariku untuk percaya pada diriku sendiri."

Ia tersenyum dan memoleskan lipstiknya. "Kau tahu Hanna, kupikir kau punya bakat dengan bidang yang berkaitan dengan pakaian."

Tak ada yang berpendapat aku berbakat menjadi desainer atau segala sesuatu yang berbau fashion sebelumnya, dan begitu juga diriku sendiri. Aku hanya mengenakan apa yang menurutku bagus, dan mungkin dengan begitu sendirinya pandanganmu terhadap pakaian dan segala macam akan terbentuk.

"Jujur, Hanna. Menurutku kau berpotensi."

Berpotensi. Jaden mengatakan hal yang sebelumnya.

Girls Like YOU! (END!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang