Bab 20 Surat Lama

88 38 0
                                    


"Hanna," suara yang selalu kukenal menjawab dalam beberapa deringan pertama.

"Hai," bisikku.

"Hanna, aku selalu ingin menelepon semenjak beberapa hari lalu. Tapi tiga malam lalu suhunya melewati 38 celcius, aku membawanya ke rumah sakit dan mereka bilang ia butuh diopname."

"Ah," keadaannya jauh lebih parah dari yang kukira, "Bagaimana kondisinya sekarang?"

"Ia terus tidur selama dua puluh jam sehari. Bangun hanya untuk makan, buang air dan tidur lagi."

"Apa ia baik-baik saja?"

"Ia baik-baik saja. Kondisinya stabil." Bisa kudengar suara Jaden terdengar kering dan serak, seperti orang kelelahan.

"Semoga ia cepat sembuh," ucapku, "Dan apa kau baik-baik saja?"

"Apa kau mencemaskanku?" candanya. Aku tertawa, dan aku merindukan candaannya. "Kau tak perlu mencemaskan manusia seukuran 180 ini. Tak ada yang bisa terjadi padaku. Aku lebih mencemaskan manusia di seberang telepon ini, karena ia hanya seukuran 160."

"Aku 162.5!"

"Ya,ya. Tumbuh tinggi dua setengah centi meter."

Dan kami tertawa. Lalu air mata mulai memburamkan pandanganku.

"Bagaimana denganmu, Hanna? Dan...apa kau masih menulis?"

"Se- semuanya baik-baik saja," aku berusaha terdengar seceria mungkin.

"Bagaimana dengan tulisanmu?"

"Em," aku mengusap mataku dengan telapak tangan, "Ya, sama seperti biasa."

"Hanna, apa semuanya baik-baik saja?"

"Ya,ya. Semuanya baik-baik saja," aku berusaha meyakinkannya.

Jeda sesaat di telepon. Aku tak ingin ia mengendus air mataku. Ini tak adil untuknya, aku tak bisa mencarinya di setiap saat aku membutuhkannya. Sementara ia sibuk menjaga ayahnya yang sakit, aku tak bisa lebih egois lagi kalau mencarinya untuk menambah beban pikiran.

"Jadi...Melanie datang, dan aku harus pergi," ucapku bohong, "Kita bicara lagi di lain waktu."

"Oh, oke."

"Semoga Ayahmu cepat sembuh...dan sampai jumpa di kampus."

"Sampai jumpa, Hanna."

Kuputuskan sambungan, berpikir untuk mengakhiri pembicaraan lebih cepat lebih baik. Entah mengapa belakangan aku menjadi melankolis, dan mulai meneteskan air mata tanpa alasan.

Beberapa saat kemudian Melanie pulang. Ia memiliki kunci serap yang kuberikan padanya, sehingga kami bisa bebas pergi pulang tanpa harus menunggu satu sama lain.

"Hanna," panggilnya ketika pintu 'klik' terbuka. Aku memastikan keadaan wajahku melalui layar kaca handphone kalau tak ada jejak air mata yang tertinggal. "Ya," sahutku tanpa menoleh.

"Hanna, aku bawa seseorang."

Dan di belakang Hanna, berdiri seorang pria paruh baya dengan jas rapi. Melanie memiliki mata yang mirip dengannya, dan ia pasti mewarisi tinggi badan dari ayahnya.

"Paman," sapaku.

Ayah Melanie menampakkan gigi-giginya yang putih, lalu menyapa serta bahkan menyalamiku. "Aku kesini untuk membawa pulang Xiao Nie," ujarnya.

Aku melirik Melanie, dan ia melirik pasrah padaku. Siapa tahu ia punya nama kecil Xiao Nie? Aku bahkan tak pernah mendengarnya.

"Kami membawa makanan untukmu," Melanie mengangkat kedua kantong besar berisi kue manis yang mungkin akan menambah berat badanku dua kali lebih berat.

Girls Like YOU! (END!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang