"Siap?"
Suara itu datang dari balik bahu, namun aku tak perlu berbalik untuk tahu siapa. Jaden bersikeras kalau aku harus ikut dengannya. Aku baru saja selesai dengan kelas siang, dan setelah menghabiskan waktu dengan perasaan berat ingin pulang secepatnya, Jaden dengan keras kepalanya menyeretku untuk menonton drama dengannya.
Aku menunggunya di depan halaman, dan masih saja terkejut ketika berbalik. Ia datang dengan motor besar di belakangnya. Monster hitam itu terlihat memukau dan gagah.
"Sorry menunggu lama, tapi aku harus mencari helm pinjaman," dan menyodorkan sebuah helm hitam padaku.
"A-aku tak pernah naik motor besar sebelumnya," aku kehabisan kata-kata.
"Kalau begitu makin bagus, ini akan jadi pengalaman baru."
Dan aku harus melangkah dengan rok ketika menaiki motor yang terlalu tinggi dan besar untukku, lalu menahan rok agar tidak terangkat ketika kami melaju di jalan. Belajar dari pengalaman, jangan pernah menaiki kendaraan beroda dua dengan rok atau kau akan kerepotan-- terutama jika kendaraan roda dua itu besar dan tinggi.
Tapi kemudian kami melewati gedung-gedung pencakar langit di kedua sisi, melesat melalui ZhuJiang Newtown-- jantung kota Guangzhou, dan segalanya tampak berbeda dari yang pernah kulihat sebelumnya. Angin menerpa rambutku, yang terus berkibar dibawah helm, dan kota yang sibuk untuk sesaat melambat dibawah laju motor Jaden.
Kami melambat di Guangzhou Opera House, gedung artistik dengan warna putih murni yang aku selalu penasaran seperti apa berada di dalamnya. Kemudian Jaden mengelilingi gedung itu setengah putaran, dan motor masuk ke dalam parkiran di lantai bawah.
"Opera house?" tanyaku bingung, masih mabuk dengan sensasi yang mengalir di seluruh tubuhku.
Kami turun dari motor, dan aku harus sedikit melompat ketika turun. "Aku tak tahu apakah kita terlambat atau tidak, tapi coba saja."
"Aku tak tahu kita akan datang ke opera house."
Tapi Jaden berjalan tergesa-gesa menaiki lift, dan aku hanya bisa mengikutinya dari belakang.
"Kita datang untuk menonton opera?" tanyaku sekali lagi.
"Ikut saja, Hanna," ia tersenyum. Dan ia melangkah ke suatu pojokan mesin yang tertulis "Mesin Tiket," memencet beberapa tombol, dan dua karcis panjang keluar.
"Aku rasa kita terlambat hampir sepuluh menit-- tapi tak apa, kita masih bisa masuk," bisiknya, dan membimbingku mengikuti arahnya.
Kami masuk di ruangan yang penuh hampir tiga per empat, dan duduk beberapa baris dari belakang. Tapi kami masih bisa menonton dan mendengar dengan jelas. Tempat duduknya didesain seperti di bioskop, dan ruangannya tak terlalu besar, sehingga kau bisa menonton para aktor di atas panggung dengan jelas.
Jaden menyodorkan selembar karcis milikku, dan tertera "The True Story of Ah Q," judul opera yang sedang kami tonton.
"Aku sudah pernah baca ceritanya," aku mengangkat sebelah alis.
"Tapi aku berani taruhan kalau kau belum pernah menonton dramanya," ia tersenyum puas, karena ia benar.
"The True Story of Ah Q" adalah drama tragedi, dimana semua penonton seharusnya sudah tahu jalan ceritanya, karena drama ini berdasarkan novel klasik Lu Xun, penulis nomor satu seantero China. Dan ini adalah karyanya yang memukul sosial di zamannya, mencongkel 'penyakit' sosial dan membuat semua orang berpikir ulang. Karya yang mengubah sebuah negara.
Cerita ini sendiri bukan drama yang berisi raja dan permaisuri, melainkan seorang pria yang miskin, kurus, jelek dan memiliki penyakit kulit di kepala. Seseorang yang terlupakan--kau tak tahu siapa orangtuanya, namanya, tanggal lahirnya dan tak dipedulikan orang-orang. Ah Q merupakan tokoh jelmaan dari segala keburukan masyarakat saat itu, yang dikira Lu Xun perlu berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like YOU! (END!)
Chick-LitUntukmu yang merasa tidak cantik, gemuk, tidak pintar ...dan tidak diperhatikan orang. Hanna Choo dikenal pemalu, tak cantik, tak diperhatikan di universitasnya... Sampai suatu hari, Mama hendak menjodohkannya. Akhirnya Hanna sadar ia membenci hidup...