Melanie telah menyetir lebih dari tiga jam, dan harusnya kami tak jauh lagi dari tempat tujuan. Setengah jam sebelumnya kami sudah memasuki perbatasan Kota Jiangmen, jadi pasti takkan lama lagi hingga kami benar-benar berhenti.
Kami turun di tempat parkir, mengambil ransel masing-masing di bagasi kemudian berjalan menuju meja resepsionis. Lebih tepatnya aku mengikuti langkah Melanie di belakang, ia terlihat sudah terbiasa dengan segala prosedur, seolah sering melakukannya. Bahkan beberapa pegawai mengenalinya.
Melanie mengatakan sesuatu, lalu mengisyaratkan agar aku mengikutinya berjalan menuruni bukit-bukit kecil, menapaki jalan yang dibuat dari bebatuan kecil dan melewati vila-vila kecil.
Beberapa hari lalu Melanie mendapat undangan pesta barbeque. Melanie selalu dikenal orang-orang kemanapun ia berada-- yah, dengan karakternya yang cepat akrab dengan siapa saja, ditambah lagi ia merupakan sepupu Katie Leung, siapa yang tak mengenalnya? Ia menginginkan pelarian untuk emosinya, yang mungkin ia bisa gila kalau terus-terus terjadi, begitu katanya. Ya, maksudnya perkara dengan ibunya.
Jadi pada akhirnya, disinilah kami berdua di Sabtu sore yang indah ini. Melanie melangkah di depan, berhenti di depan vila paling ujung, memencet kode di papan angka yang tersedia di ganggang pintu elektriknya. Enam kali "Pit-pit-pit" mudah dan pintu terbuka. Ya, ini vila miliknya-- atau milik orangtua Melanie, tepatnya. Terkadang ayahnya lelah dengan kepenatan di Guangzhou, atau Ibunya mungkin butuh istirahat di tempat yang 'jauh dan damai', jadi ayahnya memutuskan membeli satu vila kecil yang bisa dipakai kapanpun mereka mau.
Sebetulnya ruangannya kecil saja: ruang tamu, dua ruang tidur dan satu kamar mandi, dapur mini serta teras untuk menikmati pemandangan sunset dengan sudut pandang terbaik. Tapi aku tak punya banyak waktu untuk memerhatikan segala detail, karena Melanie terus berteriak: " Mereka sudah mulai setengah jam yang lalu!"
Kami turun di depan hamparan laut yang luas dan seolah begitu semangatnya menyambut mereka, dimana ombak menghantam melewati tiga meter di atas bibir pantai.
"Wow, air pasang," komentar Melanie, mengeluarkan kacamatanya. Ia mengenakan bikini set hijau tua dibawah rok tipis putihnya, dengan kamera tergantung di leher, kacamata hitam, serta rambut yang diikat acak membentuk pao di kepala.
Kami tiba di sebuah tenda putih dengan ujung berbentuk kerucut tajam, tempat dimana pestanya tengah berlangsung. Terdapat pojok barbeque, makanan ringan, bar kecil-kecilan, panggung kecil, musik dan meja-kursi. Orang-orang tersebar di segala sudut, sementara kebanyakan masih menikmati bermain ombak dan sunset sebelum matahari betul-betul tenggelam dan segalanya jadi gelap.
Melanie melepaskan gaunnya, dan garis-garis lekuk tubuhnya menonjol. Bahkan Hanna bisa melihat otot-otot yang timbul di kedua lengannya. Terlebih lagi, ia sama sekali tak punya lemak di sekujur tubuhnya, dan garis otot diantara belahan perutnya.
Gadis-gadis lainnya punya tungkai paling panjang dan langsing di dunia, serta tubuh tanpa lemak dibawah kulit. Bagaimana bisa mereka punya tubuh seperti itu?
Perut cekung dan paha ramping. Dan mereka masih menikmati barbeque semaunya!
"Jangan bilang kau tak bawa swimsuit," ancam Melanie.
Aku memakai bikini di bawah kaos, dan berencana melepaskannya seperti Melanie ketika tiba di bibir pantai. Tapi sekarang aku tak nyaman dengan sekeliling, dan pikiran untuk mengenakan swimsuit di pantai musnah seketika.
"Melanie, aku...akan pakai begini saja."
Melanie menatapku dengan curiga.
"Semua orang disini terlalu kurus dan ramping. Sementara aku akan jadi babi gemuk diantara kalian semua," keluhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like YOU! (END!)
Literatura FemininaUntukmu yang merasa tidak cantik, gemuk, tidak pintar ...dan tidak diperhatikan orang. Hanna Choo dikenal pemalu, tak cantik, tak diperhatikan di universitasnya... Sampai suatu hari, Mama hendak menjodohkannya. Akhirnya Hanna sadar ia membenci hidup...