Bab 9 Bikini I

255 39 3
                                    

Semua orang terlihat rileks dan bersosialisasi dengan siapa saja, seolah tak ada batas penghalang antara satu orang dengan yang lainnya. Tak ada yang peduli jika kalian saling tak mengenal, tapi kau bisa menyapa dan berbicara bersama mereka.

Minuman ternyata laku habis ketika kau bermain di pantai, kelihatannya semua orang haus dan segala macam jus telah habis dari persediaan, sehingga pelayan yang bertugas butuh waktu untuk mengolah bahan.

Aku butuh menunggu sepuluh menit lagi untuk mendapatkan jus jeruk, dan aku menunggu sabar di meja bar. Dua lelaki lainnya berdiri di sebelahnya sembari membahas sesuatu, dan tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan mereka.

"...aku masih butuh untuk menyelesaikan tahap akhir."

"Kukira kau sudah selesai semua minggu lalu," pria dengan jaket coklat muda berkata, menaikkan sebelah alisnya.

"Masih butuh percobaan sekali lagi saja," temannya yang berkaos putih polos bersikeras.

"Baiklah, xiongdi. Perfeksionis, hah?"

"Itu bukan perfeksionis, tapi teliti."

"Terkadang keduanya hampir tak berbeda," tawa si jaket coklat, "Oke. Mari bahas yang lain saja. Jadi, apa rencana travelmu tahun ini?"

"India," jawab si kaos putih.

"India?" Si jaket coklat hampir tak memercayai telinganya, "Yang benar?"

"Ya, India."

"Asal kau tahu, Jaden. Dua tahun lalu aku ke New Delhi-- backpacking, karena ketika itu aku tak punya tabungan uang, jadi aku berangkat dengan nekad dan sebuah ransel. Tapi kau tahu apa yang kualami?"

"Aku memesan penginapan yang letaknya terlalu dekat dengan pasar. Kamar kecil dan gelap, dan ketika pertama kali masuk, seekor kucing hitam di atas kasur. Dan setelah aku berjalan mendekati ranjang, itu bukan kucing, melainkan tikus gemuk. Tikus!"

Aku berusaha menahan diri untuk tertawa, tapi masih saja tergelak. Sedangkan teman kaos putihnya terbahak-bahak. Entah bagaimana, tapi suara tawa orang itu terdengar familiar, seperti aku pernah mendengar suara tersebut sebelumnya, hanya saja aku tak bisa memikirkannya.

"Dan kau masih tinggal disana?"

"Ya! Ketika itu aku tak punya uang, aku tak punya banyak pilihan."

"Tak punya uang tak berarti tak punya otak," aku mendengar diriku sendiri berkata. Mereka berdua terdiam, lalu si kaos putih mengatakan, "Apa?"

"Sejujurnya," ulangku, "Tak puya uang tak berarti tak punya otak."

Si kaos putih tak bisa menahan tawanya, tergelak. Sementara si jaket coklat memerah, bahkan hingga kedua daun telinganya.

Awalnya itu kata-kata yang muncul di pikiranku dengan begitu alami, dan aku mengatakannya begitu saja, selama sesaat lupa bahwa kami saling tak mengenal. Kemudian pelayan di belakang meja selesai dengan jus jerukku, ia memberikannya padaku sambil tersenyum, yang berarti ia juga mendengarkan pembicaraan.

"Itu hanya pemikiranku, tak perlu dimasukkan ke hati."

Rasa bersalah mulai merayapiku ketika melihat si baju coklat memerah semerah-merahnya, tak tertawa sedikitpun. Aku mengatakannya sebagi candaan, tapi kelihatannya tak semua orang menangkapnya. Jadi aku meraih jusku dan beranjak pergi secepatnya, kabur sebelum salah satu dari mereka sempat mengatakan apapun.

Aku mengelilingi meja makanan, puff, mousse cake, brownies, cheese cake, pudding, dan masih tak menemukan sesuatu yang merangsang nafsu makan. Mungkin karena semuanya berupa makanan manis, dan tubuhku membutuhkan sesuatu yang asin. Karenanya, aku meninggalkan meja dan beranjak ke sudut barbeque.

Mereka memanggang segalanya: seafood, bakso, ayam, sapi, babi, sosis, organ, dan kentang. "Aku ingin ini,ini dan ini," aku menunjuk sotong, ayam dan beberapa kentang.

"Kau mengatakannya seolah 'ini'tak tahu nama makanan." Si kaos putih berdiri beberapa meter dariku, masih dengan jus di tangannya.

"Jadi kau datang untuk membalaskan dendam temanmu?"

"Apa?" ia bertingkah seolah salah mendengar.

"Aku tak tahu kalau apa yang kukatakan keterlaluan, kalimatnya keluar begitu saja dari mulutku. Duibuqi, hao ma?"

Ia menatapku selama beberapa saat, sebelum akhirnya berjalan mendekat dan berhenti di sampingku.

"Mengapa kau meminta maaf atas apa yang kau katakan?"

"Karena, karena temanmu mungkin tersinggung. Wajahnya berubah jadi merah semerahnya."

"Hong Wei memang sedikit pemalu, tapi ia bukan tipe yang sensitif."

"Jadi kalian tidak marah?"

"Bu, kenapa kami harus marah?"

"Baguslah, aku hanya mengira..."

"Jadi, kenapa kau perlu merasa bersalah untuk menjadi dirimu sendiri?"

"Ka-karena," aku terdiam, butuh waktu untuk memikirkan jawabannya, "Orang-orang mungkin takkan menyukaiku."

Ia meneguk minumannya, dan lagi-lagi-- menatapiku tanpa berbicara. Seolah tengah memikirkan sesuatu, seolah tengah menilai sesuatu.

Sedangkan aku, mulai membongkar ingatan dalam kepalaku. Suara dan gaya bicara orang ini si kaos putih terlalu familiar, aku pasti pernah berbicara dengannya sebelumnya.

"Aku Jaden Yap, jurusan Teknologi dan Pemograman," ia mengulurkan tangannya.

"Hanna Choo, jurnalisme," aku menjabat tangannya. Dan telapaknya besar dan hangat, tanganku tenggelam di dalamnya.

"Jadi apakah kau sering tak percaya diri dengan dirimu sendiri, Hanna?"

Lagi-lagi pertanyaan yang tak ada jawabannya. Aku butuh menguras otak selama beberapa lama sebelum menjawab.

"Kenapa kau berbicara begitu?" tanyaku kembali, alih-alih menjawabnya.

"Karena aku tahu seorang gadis yang mungkin sedang depresi di suatu malam, lalu bersikeras bahwa ia menginginkan menjadi berkilau sama seperti minuman yang ingin ia pesan."

Aku merasa tolol selama beberapa detik. Ketika ia menyebutkan minuman dan berkilau, potongan memori tentang malam itu kembali di ingatanku. Malam ketika diriku meledak seusai mendengar percakapan Katie Leung dan teman-temannya, malam ketika aku membenci hidupku. Hari itu, aku ingat berjalan ke restoran musik kecil dan bersikeras memesan martini, lalu menggumamkan kalimat tanpa logika pada pelayan yang keras kepala.

Dan pelayan itu adalah Jaden Yap.

Girls Like YOU! (END!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang