Aku mulai ketakutan akan pemikiran orang-orang tentangku ketika aku berusia 15. Dan ketika itu, Pei Lin berada di usiaku sekarang- hampir mencapai 23. Aku ingat bagaimana ia bersinar sejak kecil. Pei Lin selalu adalah sepupu yang paling cantik, paling jenius, paling dikenal banyak orang, namun sekaligus ia selalu menjadi kakak yang baik untukku, sehingga rasa cemburu atau iri bahkan tak bisa menumbuhkan benih mereka di dalamku.
Kami bersepupu dan aku menyayanginya, tapi kami berbeda jauh. Ia terlalu bersinar dengan segala kesempurnaannya, dan aku terlalu biasa-biasa saja. Ketika ia masuk koran hanya di usia sebelas dengan pencapaiannya sebagai juara di olimpiade nasional, aku hanyalah anak berusia sebelas yang saking biasanya bahkan tidak bisa mendapat ranking di kelas. Ketika Pei Lin tampil di acara siaran TV regional dengan tariannya, aku hanya menonton di layar TV di rumah. Kemanapun dan kapanpun, Pei Lin selalu jadi bintang. Ia selalu jadi pusat perhatian, terutama di keluarga. Papa dan Mama mengatakannya ribuan kali : "Coba kau seperti Pei Lin". Tapi sayangnya aku tak pernah menjadi Pei Lin. Dan aku bisa merasa betapa aku telah mengecewakan mereka.
Aku selalu mengkhayal bagaimana jika suatu saat aku bangun da mendapati diriku adalah Pei Lin, dan Pei Lin adalah aku- imajinasi anak kecil sepanjang masa. Tapi di usiaku yang kelima belas, sesuatu terjadi dan untuk pertama kalinya, aku tak ingin menjadi sepertinya.
Ketika itu ia telah meninggalkan Henan dan kuliah di Guangzhou, diterima di Jinan University. Jinan adalah universitas top sepanjang masa, dan semua orang sudah memperkirakan kalau ia akan masuk di universitas semacam itu. Ia mengambil jurusan kedokteran, dan semua orang membanggakannya. Ia dan aku telah kehilangan kontak semenjak itu, dan empat tahun kemudian, di suatu sore ketika aku baru pulang dari sekolah, mendadak kami semua harus berkumpul di rumah nenek. Mereka mengadakan pertemuan semacam rapat, dengan Paman dan Tante Lin- orangtua Pei Lin. Aku tak tahu apa yang terjadi dan satu-satunya yang disuruh duduk menunggu di dapur, sementara mereka menutup pintu sekat ruang tamu.
Aku bisa melihat koper, sepatu dan jaket Pei Lin di atas kursi. Aku bahkan tak tahu ia pulang, dan tak ada yang memberitahuku. Ini aneh, karena kami selalu mengadakan pesta di rumah nenek bahkan hanya untuk menyambutnya yang baru pulang dari Guangzhou setiap liburan semester. Tapi suasana kali ini seolah berputar seratus delapan puluh derajat, dan aku bisa melihat wajah serius semua orang.
Suara mereka merambat melalui udara, dan terkadang terdengar suara hentakan di meja atau isakan tangis. Aku berjalan berhati-hati ke arah pintu, dan mereka tak menyadari bahwa pintu tak tertutup rapat, sehingga aku bisa mengintip melalui celah kecil. Nenek dan Pei Lin duduk berhadapan di meja kayu bundar tempat biasa Nenek bersantai dan menikmati pemandangan di luar jendelanya. Namun hari ini, kaca jendela antik miliknya terlihat menyedihkan, bersama dengan piring keramik di atas lemari. Vas, lukisan, dan patung keramik lainnya yang selalu terlihat mahal dan antik- hari ini terlihat seperti telah kehilangan daya tariknya. Hal yang sama berlaku untuk Pei Lin, setelah tak melihatnya selama dua tahun (terakhir kali ia pulang), ia yang modis dan cantik dan selalu terlihat pintar- hari ini kehilangan sinarnya. .Ia pucat, kantong mata tebal di bawah mata, bibir kering dan mata bengkak. Tak ada jejak air mata di wajahnya, namun bisa kutebak kalau mata bengkaknya akibat dari memproduksi air mata berlebih.
"Satu-satunya yang pernah kuminta darimu," Nenek menatapnya, "Tinggalkan dia dan putus segala kontak." Suaranya tegas, pasti dan tak terbantah. Nenek tak pernah berbicara seperti ini pada Pei Lin sebelumnya- ia selalu jadi cucu kesayangan. Dan aku tak pernah melihat Nenek sedingin ini pada siapapun. Semakin ia dingin, semakin besar kemarahan yang ia simpan. Pei Lin pasti melakukan yang teramat sangat...aku tak tahu.
"Tak bisa," suara Pei Lin terdengar putus asa, dan lebih seperti bisikan.
"Pei Lin!" bentak Tante Lin, melototinya. Aku tak pernah membayangkan Tante Lin membentak anak emas dan satu-satunya. Pei Lin tak pernah terlahir untuk dicaci maki.
"A-aku tak bisa, aku... ," Pei Lin tak meneruskan kalimatnya, namun setelah jeda panjang, kedua tangannya meremas perutnya. Bukan benar-benar meremas, lebih seperti memeluk- melindungi sesuatu di dalamnya. Semua orang melihatnya, melihat sesuatu yang berusaha ia lindungi. Tante Pei Lin ambruk dalam posisi berlutut, tangisnya pecah.
"Biadab!" Nenek lebih seperti meraung, kemudian nafasnya tersengal-sengal. Mama berusaha menenangkan Nenek dengan mengelus punggungnya, tapi Nenek selalu jadi wanita kuat, bahkan di usianya yang hampir mencapai 80.
"Kenapa, kenapa!" Nenek mengarahkan kepalan tinjunya ke atas meja, seolah tangan tuanya mampu menghancurkan kayu jati itu berkeping-keping. Ia seolah mengharapkan jawaban dari Pei Lin, namun tak seorang pun di ruangan itu pernah mendapatkan jawaban mereka.
Kenapa, kenapa?
Pei Lin bergeming, tak menangis ataupun membela diri. Tatapannya kosong, dan dirinya seolah berada di kejauhan yang tak terjangkau. Paman Lin memeluk Tante Lin dalam rangkulannya, kemudian berjalan tanpa suara ke arah Pei Lin, hanya untuk menamparnya.
Tamparannya keras dan jatuh tepat di pipi kanannya, dan kulitnya yang selalu seputih salju, seketika penuh dengan saraf semerah darah yang berkumpul di bawah kulit pipi. Tamparan Paman Lin mengejutkan semua orang, termasuk Nenek yang keras dan tengah penuh amarah- untuk sesaat, Nenek menatap bengkak di pipi Pei Lin dengan tak tega.
"Nikahkan mereka secepatnya!" Nenek memerintah, dan aku bisa melihat buku-buku jarinya memutih atas kepalan yang terlalu erat.
Tante Lin semakin tersedu-sedu, dan pada akhirnya aku lari dan kabur dari pintu. Aku tak mampu melihatnya. Kalau bisa, aku takkan pernah ingin di ruangan itu sedetikpun. Dan sekarang, aku mulai menyesal karena ide untuk mengintip pernah terlintas di pikiran. Aku seharusnya duduk manis di dapur, dan tak mengetahui apa yang tengah terjadi.
Seumur hidupku, Mama mengulang selama ribuan kali: "Coba kau seperti Pei Lin..." dan aku selalu berdoa agar suatu saat aku bisa menjadi seperti Pei Lin.
Tapi kali ini, untuk pertama kalinya seumur hidupku, aku tak ingin jadi seperti Pei Lin. Betapa mengerikan apa yang tengah ia alami, dan betapa sadis hukuman yang ia terima.
Aku tak pernah mendengar kabar tentang Pei Lin lagi setelahnya, dan semua orang tak pernah menyebut namanya di setiap acara keluarga, seolah sekarang namanya menjadi kata-kata terlarang.
Aku kasihan padanya, dimana ia selalu bertabur pujian dan kasih sayang semenjak lahir, dan sekarang ini, mereka merampas segala sinar miliknya.
Aku tak pernah berani mengungkit sedikitpun tentang hari itu, dan kedua orangtuaku seharusnya tahu kalau aku mengetahui apa yang terjadi. Karena meskipun aku tak duduk dan mengintip di celah pintu, suara mereka terdengar hingga ke dapur
"Apa yang akan dikatakan para tetangga," gumam Tante Lin sembari menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
"Dan apa yang akan dikatakan orang-orang dengan keluarga kita," timpal Mama.
Ini lucu, dimana Pei Lin tengah kesakitan atas pipinya yang membengkak dan hamil, Nenek yang terengal-sengal setiap beberapa saat, dan mereka masih memikirkan apa yang akan dipikirkan orang-orang tentang pamor. Kalau ada yang pernah merenggut sinar Pei Lin dari dalam dirinya, itu adalah keluarga kami sendiri. Aku ingin mengatakan itu selama bertahun-tahun, namun kata-kata itu selalu hilang dan menguap di udara sebelum aku punya keberanian untuk itu.
Dua hari setelahnya, Mama dan Papa tak menjelaskan apapun tentang kejadian itu, dan aku tak berani bertanya. Mama hanya berkata: "Jangan pernah kau menjadi seperti sepupumu Pei Lin..."
Dan aku tak bertanya kenapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like YOU! (END!)
ChickLitUntukmu yang merasa tidak cantik, gemuk, tidak pintar ...dan tidak diperhatikan orang. Hanna Choo dikenal pemalu, tak cantik, tak diperhatikan di universitasnya... Sampai suatu hari, Mama hendak menjodohkannya. Akhirnya Hanna sadar ia membenci hidup...