Bab 18 Salam Perpisahan II

98 36 1
                                    


"Dan Profesor menyarankan agar kau membaca tulisanmu sendiri?" Melanie memasukkan suapan pudding ke mulutnya.

"Sst! Jangan keras-keras," Aku tak ingin yang lain mendengar, dimana kami tengah duduk di kantin dan semua orang bisa mendengar percakapan orang di meja sebelah.

"Lucu sekali," komentar Melanie. "Oh, tapi bagus untukmu, Hanna. Itu artinya tulisanmu tak buruk," Melanie menurunkan volume suaranya.

"Mm, aku tahu". Dan aku tak bisa menahan untuk nyengir beberapa saat sekali.

Setelah makan siang, aku tinggal untuk menunggu kelas siang sedangkan Melanie berencana untuk ke perpustakaan, mencari bahan untuk skripsi. Waktu masih terlalu awal untuk jam kelas dimulai, namun aku tak punya pilihan selain menunggu di dalam kelas. Aku bukannya tinggal di asrama sekolah.

Berjalan di area universitas melewati gedung olahraga, gedung divisi management, divisi kedokteran, divisi IT hingga divisi bahasa dan berita. Heh, cukup jauh jarak kantin dengan gedung kami, sehingga Melanie selalu bercanda kalau kami akan lapar lagi sebelum mencapai kelas.

Aku hampir mencapai pintu gedung kami, ketika mendapati seseorang dengan kaos berwarna hitam dan celana jeans berdiri di depan. Biasanya kehadirannya akan membangkitkan semangat di dalamku, tapi tidak kali ini, lebih seperti kenapa-ia-disini? Omong-omong, pukulan tas itu aku sengaja.

Aku tak bergerak, namun Jaden telah melihatku. Ia berjalan ke arahku dengan langkah besar-besar, dan bahkan hanya dengan kaos polos, ia tampak begitu...lumayan.

"Hanna," panggilnya, "Hei." Ia tersenyum dan tatapannya lembut. Ia bukan tipe yang lembut padahal, dengan tinggi 180 cm, dan dengan matanya yang kecil namun tajam, ia terlihat seperti pria dingin yang tak cocok diajak berbicara. Tapi tatapannya selalu lembut, dan itu Jaden. Sesuatu yang membedakannya dari Katie Leung dan yang lain. Ia tidak menjadi jauh tinggi dan tak terjangkau, aku merasa selalu dekat dengannya.

Setiap kali.

Hal yang asing adalah potongan rambut pendek yang nyaris botak. Ia punya rambut panjang yang disisir ke belakang sebelumnya, dan sekarang ia terlihat seperti hendak mendaftar menjadi anggota tentara. Ia masih terlihat memikat dan potongan rambut pendek yang menonjolkan tulang rahangnya yang ramping. Terlebih lagi, ia terlihat semakin macho.

Oh, kenapa Tuhan sebegitu tidak adlinya menciptakan manusia yang jenius sekaligus memikat dalam waktu bersamaan?

"Hanna?"

Suaranya menarikku keluar dari pikiranku, dan sepertinya aku dengan bodohnya menatapnya tak bergerak selama beberapa lama (aku tak tahu tepatnya).

"Jaden, hai," balasku. Melihatnya, kekesalan yang terbenam selama beberapa hari terakhir musnah. Tapi kenapa ia memotong rambutnya? Apa sesuatu telah terjadi? Wanita menggunting rambut pendek secara ekstrim kebanyakan karena patah hati. Bagaimana dengan pria? Dengan Jaden?

"Kau memotong rambutmu."

"Ya," ia tertawa, "Bagaimana?"

"Lumayan," jawabku. Masalahnya, ia terlihat bagus dengan model rambut apapun. "Tapi, kenapa?

"Mungkin karena aku ingin model rambut era 80-an," guraunya.

Rambut era 80 tidak seperti ini.

"Karena musim panas terlalu panas untuk memanjangkan rambut."

Jelas bukan. Musim panas hampir berakhir.

"Mungkin agar orang-orang tak lagi melihatku kalau aku punya model rambut jelek."

Dan aku tertegun. Ia memotong rambutnya agar...

"Bercanda, Hanna," timpalnya. Ya, ia bercanda. Tapi kau tahu? Orang-orang menyembunyikan kebenaran dalam candaan.

Apa kejadian tempo hari dalam gedung IT penyebabnya? Tapi ia tak seharusnya peduli, kan?

"Jadi apa kau datang untuk memamerkan rambut barumu?" candaku.

"Setelah seharian mengurung diri di ruang kecil dan sempit, aku butuh sinar matahari," ia terkekeh. "Jadi, apa kabarmu? Apa yang kau lakukan beberapa hari terakhir ini?"

"Ya, aku punya sedikit kemajuan," senyumku bangga, setidaknya aku terus menulis dan mengirimkan tulisan pada penerbit.

"Aku ingin baca tulisanmu," komentarnya, dan ia terlihat serius.

"Mm, aku menggunakan nama pena di setiap karangan," aku menjelaskan, "Dan silahkan kau tebak yang mana tulisanku".

"Oh," ia mengeluh, dan kemudian kami tertawa.

"Bagaimana denganmu?"

"Aku mungkin takkan datang ke kampus untuk beberapa waktu."

Aku tertegun. "Kenapa?"

"Ayahku sakit-- bukan sakit parah. Ia jatuh sakit karena bekerja terlalu keras, dan aku butuh break sementara untuk menjaganya".

"Semoga ayahmu cepat sembuh".

"Xiexie. Ia demam tinggi dan sudah beberapa hari dan terus terbaring di ranjang".

Aku mengangguk. Aku prihatin atas ayahnya yang sakit, namun itu berarti aku takkan melihat Jaden untuk beberapa waktu di kampus. Mendadak perasaan asing menyerang dalam diriku, khawatir bahwa aku takkan bertemu dengannya untuk beberapa waktu. Ini lucu, dimana ia bukannya pindah kota atau semacamnya, tapi perasaan ini tak bisa kuusir.

"Aku akan menelefon kalau ada apa-apa," ujarnya.

"Ya," aku mengangguk pasti, lalu kami berpisah dan pada akhirnya aku berjalan masuk ke kelas.

*

Melly Ho, Jennifer dan Samuel Tan tengah membicarakan sesuatu di kelas ketika aku masuk. Mereka tertawa dan bersemangat, tapi aku tak peduli. Aku bahkan tak mendengar apa yang mereka bincangkan.

Aku masih memikirkan Jaden dan ayahnya. Aku tak pernah tahu tentang keluarganya-- tapi ia tidak menyebutkan tentang ibunya sedikitpun. Seperti apa keluarganya? Aku baru menyadari bahwa kami saling tidak mengenal latar belakang satu sama lain terlalu dalam.

Pepper Chen datang dan duduk di meja sebelahku, matanya menatapiku dan mulutnya bergerak seolah tengah mengatakan sesuatu, jadi kulepas headsetku.

"Buhaoyisi, apa?"

"Kubilang, kau melamun, kelihatan seperti sedang memikirkan sesuatu."

"Ah, tak ada apa-apa," aku menggeleng. Di meja belakang Samuel dan yang lain tengah tertawa, memperdebatkan sesuatu. "Apa yang mereka bicarakan?" tanyaku pada Pepper, dan melihat sebuah koran yang terlipat di tangan Jennifer. Mereka sedang membaca koran.

"Mereka membicarakan 'RED'," Pepper menjawabku, dan ikut tertawa mendengar mereka. "Hai Hanna," Melly Ho tersenyum padaku ketika mendapatiku menoleh dan tengah menatapi mereka. Aku tersenyum dan melambai kembali. Semenjak membantunya memilih pakaian, ia terus menyapaku setiap kali kami bertemu.

"'RED'?" aku menatap Pepper.

"Aiya, penulis baru di kolom harian kampus. Kau harus baca...Tulisannya terkenal di seantero sekolah sekarang," Pepper penuh semangat.

Dalam beberapa detik detak jantungku berdetak semakin cepat, berdentum-dentum dalam diriku. Aku menatap Pepper lekat-lekat.

"Aku tak tahu kalau tulisan RED terkenal".

Kemudian aku mendengar kalau Melly Ho melemparkan kalimat: "Kalian lihat: "memakai bikini sama seperti ketika kau tak mempedulikan apa yang dikatakan orang tentangmu'. Lihat apa yang ia tulis! Aku suka kalimatnya". Kemudian mereka tertawa.

Setiap kalimat yang mereka baca tak bisa terdengar lebih akrab lagi di telinga. Beberapa saat handphoneku bergetar dan merupakan telepon dari Melanie.

"Halo".

"Hanna!" bisiknya dengan tak sabar, kedengarannya ia menelepon di tengah toilet.

"Ada a-..."

"Hanna, kelihatannya kau terkenal sekarang".

Girls Like YOU! (END!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang