Bab 7 Melanie! (1)

143 38 3
                                    

Jadi, semua orang menyaksikanku meneriaki KATIE LEUNG.

Tapi apa salahku, kan? Dia bertanya, dan aku punya hak untuk memberi atau menolak. Setiap manusia punya hak dan derajat yang sama, sekalipun ia adalah Katie Leung, sekalipun orangtuanya memiliki pengaruh di lapisan masyarakat tertentu.

"Kau gila," Pepper menatapku tak percaya. Ia dan teman-teman sekelas lainnya-- tentu saja, menyaksikan secara seksama keseluruhan kejadiannya, dan ia menghampiriku setelah semua orang bubar.

"Tapi aku punya hak menolak," aku membela diri.

"Kau bukan menolak, tapi kau meneriakinya," Pepper bersikeras.

"Aku tak sengaja, aku gugup..."

Pepper menghela nafas. "Ya, memang bisa kulihat kalau kau gugup."

"Ya, kan? Semua orang harusnya tahu aku tak bermaksud-"

"Tapi tetap saja, kau berteriak."

Dan kalimat tadi adalah pembelaan terakhirku. Pepper menang, aku tak punya alasan. Bagaimana bisa perebutan suatu bangku menyebabkan persoalan?

"Lebih baik pergi dan meminta maaf," Pepper menyarankan dengan bijak, lalu beranjak pergi. Ia masih punya kelas lain, dimana ia sengaja memilih kelas lebih untuk memenuhkan jadwalnya.

Sedangkan Pepper menaiki tangga menuju lantai atas, aku berbalik dan menuju kantin. Kenapa hidup penuh dengan hal-hal kecil yang tak pernah kau duga? Aku benar-benar tak pernah bermaksud untuk membuat sensasi.

Dua gadis yang berjalan melaluinya melirik ke arahku. Bukan melirik sekilas, tapi tipe yang menilai dari ujung kaki hingga ujung rambut, dan menilai dari tatapan mataku. Apa? Apa ada yang salah denganku? Apa warna kuning gaunku terlalu terang untuk dipakai di kampus? Ini kedua kalinya aku menangkap basah orang-orang yang menilaiku. Awalnya mungkin berupa perasaan sensitif yang tak nyata, tapi kemudian seseorang melakukannya lagi. Ini bukan halusinasi atau perasaan sensitif dan semacamnya, tapi orang-orang memerhatikanku.

Dan di dalam kantin, ketika aku duduk di salah satu meja kosong dengan semangkuk mie sapi di atasnya, segerombol anak muda yang tak kukenal-- yang terlihat seperti anak-anak tahun kedua, berbisik, menunjuk dan tertawa ke arahku. Terang-terangan.

"Ada masalah?" Kuletakkan kembali sumpit ke atas mangkok. Menampakkan dengan jelas kekesalanku dan betapa aku terganggu dengan tingkah mereka.

"Kami ingin tahu," salah satu perempuan berkulit lebih gelap dan mata besar maju selangkah, "Apa benar kau baru saja 'menampar wajah' Katie Leung di kelas?"

Jadi ini soal masalah rebut kursi tadi? Apa-- Bagaimana bisa anak-anak ini tahu bahkan sebelum aku memasukkan suapan pertama makan siangku? Kalau mereka tahu, jadi ini berarti seisi gedung tahu?

"Kami dengar begitu," yang lain menimpali begitu melihatku tak merespons.

"Bagaimana kalian bisa tahu-..."

"Jadi kejadiannya benar ada," mata gadis itu berbinar.

"Jangan ganggu dia, anak-anak." sela sebuah suara dari belakang.

Seorang perempuan dengan tas kulit coklat, rambut panjang terurai diantara jaket jeans dan kaos biasa yang ia padu dengan jeans biru muda yang robek di salah satu lututnya. Alisnya terangkat dan mata besarnya hampir melotot, memasang tampang wajah serius.

"Melanie!" ujar salah satu diantara mereka.

"Bisa tidak kalian tak bermulut ember dan jangan ganggu orang yang sedang makan?" Sergahnya kesal, "Jangan hanya tahu gosip."

"Duibuqi....," Anak-anak itu bingung, mundur dengan ketakutan, sebelum akhirnya berbalik dan lari keluar.

Aku ingat, ia adalah perempuan tempo hari yang berpapasan di trotoar. Orang yang beradu mulut dengan ibunya dan selamat setelah mendapatkan brosur yang kuselip diam-diam di kaca mobilnya.

"Tak usah kau pikirkan gerombolan ember itu."Ia menarik kursi didepanku, dan duduk di atasnya.

"Melanie Ng," ujarnya. Ya, kami belum sempat kenalan atau bahkan mengetahui nama satu sama lain sebelumnya.

"Hanna Choo."

"Ya, aku tahu kau Hanna Choo. Kita sekelas di pelajaran Profesor," ia terkekeh, "Dan lagipula, kurasa seluruh isi kelas sudah tahu namamu sekarang."

"Yang benar saja," aku menghela nafas panjang, apa segala sesuatu selalu berubah ke arah yang buruk?

"Tak usah kau pikirkan," Ia pasti menangkap kekhawatiran di dalamku, berusaha menenangkan, "Kau tak salah sama sekali."

Betapa perhatian dirinya, berusaha menghibur. Kami bahkan tak benar-benar mengenal satu sama lain, selain tanpa sengaja menguping pembicaraannya dan ibunya beberapa hari lalu. Tapi kami berdua terdiam, siapapun tahu situasi ini akan menyebar dan jadi bahan gosip sepenjuru ruangan. Terlebih anak jurusan 'Jurnalisme', jauhi mereka semua. Mungkin sebagian berbakat dalam bidang berbicara di depan kamera, sebagian berbakat menulis opini, dan jangan lupa ada sebagian orang yang berbakat mencari bahan berita(gosip).

"Jadi, brosurmu berhasil menyelematkanku," ia tersenyum dan mengatakannya penuh semangat.

"Yang benar?" Aku tahu, aku belum benar-benar pergi ketika itu hanya untuk tahu apakah brosur itu berhasil.

Melanie tertawa, dan mengumumkan penuh kemenangan: "Ya."

"Kau tak tahu betapa aku benci acara pertemuan semacam itu. Tak ada gunanya. Semua orang akan berkumpul dan makan bersama lalu bilang betapa rindu aku pada kalian dan sudah berapa tahun kita tak blablablablah."

"Tapi sebenarnya, semua orang membenci satu sama lain. Seusai makan, masing-masing akan mulai mengatai siapa dan siapa terlihat palsu, atau mobil baru mereka sebetulnya murah saja dan...aku tak ingin melanjutkannya," Melanie memutar bola matanya. Tanpa sadar ia mencurahkan segala isi pikirannya begitu saja. Ia pasti betul-betul membenci apa yang ia katakan, kalau begitu.

"Kelihatannya kau pengalaman," godaku.

"Aku telah terperangkap di dalamnya selama dua puluh tahun!" keluhnya sembari tertawa.

Sebetulnya kami berdua kelihatan jauh berbeda, seperti berasal dari dua golongan berbeda Jangan salah, bukan soal uang. Tapi ia terlihat begitu percaya diri, dan kulit maskulin serta orang-orang mengetahui namanya. Namun entah bagaimana, kami berdua cocok.

Kami menghabiskan waktu siang bersama, dan aku merasa jauh lebih baik. Ia benar soal 'insiden' tadi, semua orang punya hak yang sama untuk menolak.

"Lagipula siapa dirinya kalau bukan karena orang-orang bodoh disekitarnya memperlakukannya seperti tuan putri," Melanie memutar bola mata, "Kau tak perlu sama tak berotaknya seperti mereka."

Semenjak makan siang hari itu, entah bagaimana kami selalu berpapasan ketika jam pulang, jam makan siang, di parkiran mobil, di lorong, di aula kampus. Sebetulnya, lebih aneh ketika kami tak pernah melihat satu sama lain elama tiga tahun terakhir dimana ketika kelas hanya bersebelahan. Dan setiap Senin, kami saling menyisihkan tempat di sebelah untuk satu sama lain-- tergantung siapa yang terlebih dulu sampai.

Terkadang Melanie menyetir mencari makan siang ketika kami berdua sama-sama tak punya kelas siang.


Girls Like YOU! (END!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang