Part 12

509 40 0
                                        

Kaki Mark sekarang sudah pulih kembali, dan lukanya sudah kering. Dia sekarang bisa berjalan dengan normal seperti orang pada umumnya. Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela dapur, menciptakan suasana hangat yang menggugah semangat. Pria itu sangat bersemangat untuk pergi ke kampusnya. Dia sudah begitu merindukan tempat itu karena seminggu ini dia harus dirawat di rumah. Sejak kejadian seminggu yang lalu, Kai, ayahnya, melarangnya untuk keluar rumah jika kakinya belum sembuh. Ayahnya tidak ingin kejadian itu terulang lagi dan takut akan berakibat fatal nanti.

Mark langsung bergabung dengan keluarganya untuk sarapan pagi itu. Aroma roti panggang dan kopi mengisi udara, menciptakan suasana yang nyaman.

"Selamat pagi ayah, ibu," sapa Mark sambil duduk di kursi yang biasanya dia duduki.

"Bagaimana kakimu, sayang?" tanya Krystal, sang ibu, memulai pembicaraan seraya menata makanan di meja tersebut dengan penuh kasih.

"Sudah sembuh, ibu," jawab Mark dengan senyuman bangga.

"Itu menjadi pelajaranmu, sayang, untuk selalu berkonsentrasi saat sedang naik motor," timpal Kai, yang saat ini sudah sangat rapi dengan baju kantornya yang terlipat rapi dan dasi yang terikat sempurna.

"Aku berjanji tidak akan mengulanginya," sesal Mark, seraya mengambil beberapa menu makanan dan meletakkannya di piringnya, mengisi perutnya yang sudah keroncongan.

"Di mana Haechan? Apakah dia masih tidur?" tanya Kai, yang menyadari putra bungsunya tidak ikut sarapan bersamanya.

"Mark, bangunkan dia!" titah Kai, hanya dibalas anggukan oleh Mark. Putra sulungnya itu lalu beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamar adiknya.

Sesampainya di pintu kamar Haechan, Mark mengetuk pintu tersebut sambil memanggil adiknya.

"Haechan!"

Tidak ada jawaban dari adiknya itu. Mark sangat yakin bahwa Haechan pasti belum bangun saat ini. Dia heran mengapa adiknya selalu bangun siang. Padahal, mereka masuk kuliah pagi sama seperti Mark.

"Haechan, bangun!" kata Mark sambil menggedor-gedor pintu itu. Raut wajah Mark mulai menunjukkan kesal karena tidak ada respons dari dalam. Dia pun memilih untuk meminta kunci cadangan kepada pelayan rumah. Pelayan itu kemudian memberikan kunci tersebut dan pergi menyelesaikan pekerjaannya. Tanpa berpikir panjang, Mark membuka pintu yang terkunci itu.

Dilihatnya adiknya yang masih tertidur lelap dengan wajah polosnya.

"Oi Haechan, bangun, ini sudah siang," ucap Mark sambil menggerakkan tubuh adiknya. Kedua mata Haechan masih terpejam walau Mark terus memanggilnya. Dalam kebingungan, Mark beralih ke kamar mandi dan mengambil gayung yang berisi air.

Byur...

Air itu dijatuhkan di wajah Haechan, membuatnya terbangun seketika. "Kebocoran!" Itulah yang Haechan kira. Dia mengira atap rumahnya kebocoran dan dia terkena air hujan.

"Apa-apa ini, kak?" tanya Haechan terkejut melihat kakaknya yang melakukan semua ini.

"Kau lihat sekarang jam berapa?" tanya Mark, seraya melipat kedua tangannya dengan ekspresi serius. Haechan melirik jam beker di atas mejanya itu, dan wajahnya mulai menunjukkan rasa panik.

"Iya, aku tahu sekarang sudah jam 7 pagi. Jadi apa masalahnya? Lagipula, aku masuk jam 8 pagi," jawab Haechan, berusaha mempertahankan ketenangannya.

"Lalu kau mengabaikan perkataan ayah kemarin. Ayah menyuruhmu untuk selalu bangun pagi," ungkap Mark dengan nada tegas.

"Aku tahu, tetapi tidak dengan cara seperti ini. Kakak kan bisa membangunkan aku dengan penuh kasih sayang," ucap Haechan dengan kesal, matanya terlihat mengeluh.

The Strength Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang