Part 7

433 57 0
                                        

Ruangan itu sempit dan suram, dinding-dindingnya terbuat dari beton dingin yang menjulang tinggi. Bau lembab dan apek memenuhi udara, menciptakan suasana yang mencekam. Di tengah ruangan, seorang pria duduk terikat di kursi kayu tua. Rantai yang membelenggunya berkilau dalam cahaya redup lampu neon yang berkelap-kelip, menambah kesan ketidakberdayaan.

Tubuhnya penuh dengan luka dan lebam, tanda-tanda pertempuran yang tak terlihat. Keringat mengalir di pelipisnya, bercampur dengan rasa sakit yang tak terucapkan. Suara langkah kaki menggema saat pintu besi berderit terbuka, memperkenalkan sosok penjaga yang memasuki ruangan.

Penjaga itu mengatur nafasnya sejenak, lalu menghidupkan AC. Angin dingin yang mulai berhembus memberikan sedikit kelegaan dari kepanasan yang menyengat. "Tuan, dia masih belum mau makan" katanya, menunjukkan platter berisi makanan yang masih utuh, seolah makanan itu adalah simbol harapan yang tertolak.

Kai, seorang pria dengan aura yang kuat dan tatapan tajam, melangkah masuk. Wajahnya tak menunjukkan rasa takut, malah ada ketenangan yang menakutkan. "Aku masih punya rasa simpati. Aku tidak ingin mengambil hakmu untuk hidup" ujarnya dengan suara tegasnya menggema di ruang yang pengap itu.

Penjaga mengangguk lalu menambahkan "Dia tidak mau memberi tahu siapa yang menyuruhnya."

Kai mendekat kemudian menyilangkan tangan di dada sembari mengamati pria terikat dengan intensitas yang membuatnya merasa tertekan. "Katakan siapa yang menyuruhmu?" tanyanya dengan nada suaranya tanpa kompromi.

Pria itu menatap balik dengan keteguhan dalam matanya jelas terlihat. "Sampai kapan pun, aku tidak akan mengungkapkan identitas tuanku" jawabnya dengan suaranya mengandung keberanian meski dalam keadaan terjepit.

Kai menarik napas dalam-dalam, mencoba mengubah strategi. "Kau tidak perlu mengkhianati siapa pun. Tapi ada cara lain. Bekerjasamalah denganku, dan aku bisa membantumu" tawarnya dengan nada suaranya berubah lebih lembut, namun tetap penuh tekanan.

Pria itu terdiam sejenak, tampak berpikir. "Apa yang kamu tawarkan?" tanyanya, suara penasaran mulai mengalahkan keteguhan.

"Kebebasanmu. Dan imbalan yang jauh lebih baik. Aku bisa membayarmu empat kali lipat dari yang pria itu janjikan" jawab Kai, sorot matanya mencerminkan keyakinan yang dalam.

Namun, pria itu tetap teguh. "Aku tidak butuh uang itu. Aku tidak akan mengkhianati tuanku" tegasnya, suaranya tidak bergetar dengan penuh keberanian.

Kai mengangguk, menyesuaikan sikapnya. "Baiklah, jika itu keputusanmu. Tapi ingat, waktu adalah segalanya. Jika kau berubah pikiran, katakan kepada mereka."

Saat Kai beranjak pergi, ia menambahkan"Aku memberikanmu waktu 24 jam untuk memikirkan tawaranku. Jika kau masih patuh kepada tuan mu itu, lihat saja bom akan segera meledak nanti" Pintu berderit tertutup, meninggalkan pria itu dalam keheningan yang mendalam. Suara derit itu seolah menandai awal dari sesuatu yang besar. Pria itu kembali merenung, pandangannya tertuju pada makanan yang tak tersentuh. Dalam keheningan ruangan yang kembali terasa panas, pikirannya berputar, berjuang melawan rasa putus asa.

Kai memilih untuk pergi ke alamat yang sudah ia temukan dari ponsel pria itu. Tetapi sebelum itu dirinya menemui putra sulungnya untuk melihat keadaannya. Saat ini dokter Taeyong mengeluarkan alat pemeriksaan dan memeriksa pergelangan kaki Mark.

Setelah melakukan pemeriksaan yang teliti, Taeyong mengangguk, tampak lega. "Saya tidak melihat tanda-tanda patah tulang. Hanya ada sedikit bengkak dan memar. Ini cukup umum dialami orang setelah jatuh."

Di belakang, Kai berdiri dengan khawatir. "Jadi, apakah dia baik-baik saja?" tanyanya, sorot matanya penuh harap.

"Ya, kakinya tidak terluka parah" jawab Taeyong. "Yang paling penting sekarang adalah Mark harus istirahat. Saya sarankan dia tidak melakukan aktivitas berat selama beberapa hari ke depan."

The Strength Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang