"Oh jadi ini gunungnya."
Clair menyilangkan tangannya didepan dada, Bella masih setia dengan kertas dan pulpen, dan Iris berkacak pinggang. Mereka menatap gunung berapi didepan dengan tatapan yang berbeda beda. Ada yang senang, ada yang biasa saja, bahkan ada yang malas.
Kalian tahu bukan siapa yang menatap dengan tatapan malas?
"Sebenarnya batu mana hati naganya berada dimana sih? Tidak mungkin bukan jika kita berenang di lautan lava panas?" Ucap Clair.
"Hmm, bagaimana ya" Bella mengetukan pulpen pada dagunya seolah sedang berpikir, padahal otaknya masih memikirkan persediaan makanan yang dibawa Aris.
"ah ini sangat sulit. Jika saja Aris tak memilih guest menyusahkan ini, sekarang kita pasti sudah menyelesaikan guestnya." Ujar Iris dengan sebal.
"Jangan mengeluh dan berpikirlah dengan benar, sebaiknya kita cepat menyelesaikan misi ini." Sahut Clair, dia saat ini benar benar geram dengan cahaya matahari yang masuk kedalam kulit dan matanya itu. Panas.
"Benar."
"Cih, melawan naga akan lebih mudah dari pada berenang didalam lautan lava panas." Ucap Bella.
"Kita belum tentu mati jika menyerang naga tetapi kita akan mati begitu menyentuh lava panas gunung berapi itu." Ralat Iris.
"Kuharap naga datang digantikan dengan lava yang menghilang." Gumam Clair dengan sangat lirih.
"Jadi bagaimana sekarang? Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana cara mengambil batu mana hati naga-nya? Apa batu itu benar benar ada disana? Aku sangat-"
"Diamlah Iris, kami juga sedang berpikir." Potong Bella.
"Hei, kalian bilang tes ini akan disiarkan ulang oleh kepala sekolah langsung kan?" Tanya Clair.
Iris nampak tertegun, sepertinya gadis itu mengerti jalan pikir Clair, Iris menyeringai. "Clair, apa kau memikirkan apa yang kupikirkan?"
"Aku tidak bisa membaca pikiran." Jawab Clair dengan malas. "Tapi jika pikiranmu adalah lulus tes dengan nilai penuh lewat jalur gratifikasi, kita sepemikiran."
Tuk
Bella menjatuhkan pena-nya, lalu membuka mulutnya dengan lebar karena kaget. "Kenapa tidak kepikiran dari dulu? Kalau begitu bagaimana jika sekarang kita berjalan jalan di desa terpencil ini?"
Mereka saling memandang, sampai akhirnya menganggukan kepala dengan senyuman nakal yang terpatri diwajah.
Hehe.
=====
Kini mereka benar benar bersenang senang, tak ada kata 'tes' atau 'tugas' yang terlintas dalam benak nereka.
Iris dan Bella memilih untuk melakukan hobi mereka yaitu berbelanja barang barang mewah dengan harga selangit.
Sedangkan itu, Clair lebih memilih untuk memanjakan perutnya dengan makanan enak yang jarang ditemui diluar desa negara Netherland. Makanan nomor satu, pikirnya.
"Nak!" Panggil seorang perempuan yang berkisar 30 tahun-an. "Nak, kemari."
Clair membalikan badannya, masih dengan tiga buah sate strawberry berlapis coklat dalam genggamannya. "Apwah?"
Terkadang orang yang menulis narasi ini juga heran, mengapa tuan putri dari kerajaan besar seperti Clarissa ini kekurangn sopan santun, tata krama, dan kewarasan. Lihatlah bagaimana keadaan-nya. Clair menyahuti panggilan wanita itu dengan mulut penuh berisikan strawberry noda coklatpun tak luput dari mulutnya.
"Mamaa~~" Ucap seorang anak kecil sambil berjalan melewati Clair dan memeluk wanita tadi.
'Apa?'
Jadi sebenarnya Clair salah menanggapi jika dirinyalah yang dipanggil, padahal wanita tadi memanggil anak-nya. Sudahlah, rasanya Clair sekarang ingin menggali lubang yang dalam dan masuk kesana.
"Kakak~?" Panggil anak itu.
Clair kembali menyahut. "Kau memanggilku?"
"Haaaai" seorang anak yang nampaknya beberapa bulan lebih tua itu menyahuti anak tadi.
"Wtf." Clair berjalan cepat dengan berlawanan arah, saat ini dia sedang dilanda dengan rasa malu yang sangat besar. Dua kali salah mengira dan dua kali salah menyahut. Dua kali lipat juga rasa malunya.
'Memalukan :) ' Batin Clair. Sambil menangis didalam hati.
Setelah dirasa cukup jauh dari keberadaan keluarga kecil tadi, Clair kembali memperlambat langkahnya lalu menghela napas dengan lega.
"Nak!" Panggil seorang wanita tua dengan nada misterius.
"..." Clair tidak menyahut, bisa saja dia salah sangka lagi seperti tadi, jadi gadis itu kini lebih memilih untuk melanjutkan umtuk memakan sate buah miliknya yang sempat tertunda.
"Nak, kemarilah."
"..." Clair menghentikan langkahnya tetapi dia tidak menyahuti suara misterius yang didengarnya itu.
Clair mulai berlari lagi, entah apa yang dipikirkannya hingga dia berlari dengan sekuat tenaga.
"NAK! HOI! CLAIR! BODOH! WOI! KEMARI!" Teriaknya.
Clair menghentikan langkahnya dalam seperkian detik, lalu membalikan badannya dan kembali berlari kearah wanita tua tadi. "NENEK MEMANGGILKU KAN? AKU KAN?"
brak.
"Gyaa. Aku jatuh huwee, malu!" Clair tersandung sebuah batu yang berakhir dengan dirinya yang terjatuh dengan tidak elit. Sebenarnya sakitnya tidak seberapa, tetapi ini sangan memalukan.
"Pfftt- buahaha." Wanita tua tadi nampak menahan tawanya. Lalu membantu Clair agar dapat berdiri kembali.
"hiks. Ada apa memanggilku?" Tanya Clair.
"Apa kau ingin dilamar?" Tanya wanita tua itu.
"Tidak, pertama aku masih lurus, kedua aku tidak segila itu untuk menikah dengan wanita tua, dan terakhir aku memiliki kekasih dengan wajah yang sangat tampan. Jadi terimakasih, aku tidak menerima lamaranmu!" Ucap Clair dengan penuh percaya diri.
"HEH! LIDAHKU TUH TERPELESET TAHU! TERPELESET! MAKSUDKU ITU KAU MAU DILARMAH! SALAH! DIMALAR! ADUDUH MAKSUDNYA DIRAMAL! NAH IYA MAU DI-RA-MAL. TIDAK?!" Teriak wanita tua itu sambil mengeja kata 'diramal'.
"Tidak."
Wanita tua itu menatap Clair dengan tatapan menghina. "Dasar perusak suasana! Seharusnya dalam sekali panggilan tadi kau sudah berbalik, lalu berpikir siapa aku kenapa aku memanggilmu, setelah itu aku bertanya nak biarkan aku meramalmu. Begitu! Seperti sebuah narasi dalam novel!"
"Apa? Dasar nenek tua alay. Yasudah aku mau diramal." Ucap Clair dengan sedikit terpaksa.
"Iya aku akan memberitahumu, Giona." Ucap wanita tua itu, Clair nampak membulatkan matanya lalu kembali menetralkan wajah terkejutnya dengan raut datar. "Dia sudah bangkit, aura hitam dari hati mahkluk hidup-lah yang berhasil membangkitkannya kembali. Semuanya bisa berakhir buruk jika kau tidak berhasil menghapusnya. Jika kau berhasilpun, semuanya tak akan kembali lagi seperti dulu, akan tersisa abu. Aura hitamlah yang akan berkuasa selama lamanya. Sudah seperti itu saja kok." Wajah serius wanita tua itu menjadi santai kembali saat mengatakan kalimat terakhirnya.
"Tunggu, siapa itu 'dia'?" Tanya Clair.
"Tidak seru jika aku memberitahumu sekarang! Jalanmu masih panjang! Maksudnya jalan penderitaanmu. Ini aku hanya bisa membantumu dengan ini!" Wanita tua itu memberikan sebuah buku usang dan setangkai bunga mawar putih. "Babay!"
Whuush.
'Sebenarnya siapa dia sampai tahu namaku dikehidupan sebelumnya?' Batin Clair.
"Cih, nenek tua itu memberiku mawar tanpa akar? Yang benar saja, beberapa jam lagi mawar ini pasti layu, huh!"