14

51.7K 6.2K 3.9K
                                    

Typo mohon maaf!

"... Apa kau tidak mau bertahan disini bersamaku?"

"Mau!" Renjun membalas dengan antusias.  Lengannya mengalung pada leher kokoh didepannya. Membiarkan Jeno berdiri diantara kedua kakinya. Matanya berbinar dengan bahagia. Seolah apa yang ia tunggu dan inginkan telah terkabul. Tuhan memang adil, namun takdirnya tidak seorangpun yang tahu.

"Ayo, bahagia bersama," ujar Jeno sembari mengelus pipi yang terlihat lebih tirus dari terkahir mereka bertemu. Wajah pucat Renjun membuatnya tidak ingin melepas rengkuhan pada tubuh itu. Ingin rasanya selalu bersama, tidak peduli dengan sekitar.

Jeno tahu sifat Renjun. Pemuda itu selalu keras dalam ucapannya, namun berbeda jika sudah melibatkan nurani. Renjun yang tegas dan apa adanya dalam berbicara, akan berubah lunak disaat tertentu. Seperti sekarang mungkin, katakan Renjun bodoh. Karena Jeno pun berpikiran seperti itu.

"Jeno," ucap Renjun. Air mukanya berubah sendu seiring suasana yang berubah. "Jeno, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga-"

"Menjaga bukan berarti mengorbankan nyawamu! Menjaga hanya menjadi tameng untuknya, bukan menjadi korban!" Sentak Jeno marah. Tidak peduli jika Renjun menangis untuk itu. Lagi pula siapa yang akan rela menyaksikan kekasih yang selalu ia jaga mengorbankan nyawanya hanya untuk saudara tak sekandung?

"Aku tahu, tapi waktunya mungkin tidak akan banyak. Dan aku tahu aku bodoh. Tapi Jeno, bahkan sampai sekarang Ayah tidak peduli padaku. Dia sudah melepaskanku sejak malam itu," tutur Renjun menundukkan kepalanya.

"Ayahmu mungkin melepaskanmu, tapi aku tidak akan pernah melakukan itu. Tolonglah Renjun, banyak orang yang menyayangimu. Jangan terpaku pada satu orang, coba lihat aku." Jeno meraih dagu si pemuda mungil dengan pelan. Mengarahkan tatapan keduanya untuk saling beradu. "Batalkan keputusan itu, aku ada disini sekarang. Jika tidak ada seorangpun disisimu, masih ada aku."

"Semuanya sudah terlanjur, Jeno!"

"LALU KENAPA KAU MENGHARAPKANKU TERBANGUN?! SETELAH AKU DISINI KAU AKAN PERGI?" teriak Jeno didepan wajah Renjun. Pemuda Huang itu melepas lengannya. Badannya bergetar mendengar teriakan itu. Ia tahu emosi Jeno yang meledak akibat keras kepalanya.

Mereka diam, dengan keadaan mencekam. Jeno mengepalkan kedua tangannya disisi badan. Memandang Renjun dengan tatapan nyalang yang membuat siapapun berpikir dua kali untuk menatapnya. "Sekarang apa, Renjun? Kau sudah terlalu jauh dariku, kau bukan Renjun yang kukenal. Kau berbeda," lirih Jeno.

Renjun bungkam.

"Renjun yang aku kenal, tidak seperti ini. Dia tegas dan galak, bukan putus asa seperti ini. Seberapa keras dia menjalani harinya, dia tidak akan berpikir untuk menyerah. Dia selalu tersenyum, bukan menangis. Senyumnya cantik, tidak dengan tangisnya. Dimana Renjunku yang dulu?!" Erang Jeno mencengkram rahang didepannya. Membuat Renjun meringis dengan di iringi tangis menyesakkan. "Kau bukan Renjunku! Kau bukan Renjun yang sudah berjanji tidak akan meninggalkanku! Siapa kau?!"

Renjun mendorong tubuh pemuda itu. Lantas turun dari tembok. Tubuhnya meluruh ke bawah, lutut tertekuk dengan lengan memeluknya. Menangis pilu dihadapan Jeno tanpa malu. Perasaannya terlanjur sakit dan hancur. Bukan, bukan karena Jeno, tapi karena keadaan yang selalu menekannya.

Dua tebing seakan mengapit tubuhnya, menimbulkan sesak tak berujung. Air matanya turun tanpa bisa dicegah. "Aku, aku Renjun. Aku Renjun, Jeno. Aku-" ucapnya tertahan saat ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Frasa itu seakan tertahan di tenggorokan. Isak tangis yang keluar dari bibirnya membuat Jeno mengerang frustasi.

Pemuda Lee itu dengan segenap perasaan yang tak mampu tergambar, merengkuh tubuh mungil Renjun. Menenggelamkan keasihnya dalam dekapan hangatnya. Tidak peduli dengan lantai kotor yang mereka pijak. Rasa rindu, sakit juga sesak memenuhi rongga dadanya. Semesta menyulitkan mereka untuk bersama.

DIFFERENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang