10

36.5K 6.1K 2.2K
                                    

Typo mohon maaf!

Suasana kembali hening. Ketidakinginan Renjun untuk berbicara membuatnya hanya diam dalam pelukan ayahnya. Tidak membalas, tidak juga menolak. Diam seperti patung dengan pandangan memenyorot kosong.

Menyedihkan. Sebenarnya, ingin sekali Renjun menangis meraung meminta keadilan pada semuanya. Pada Ayahnya, Ibunya, keluarganya ataupun Tuhan yang memberikan kehidupan tak mengenakkan seperti ini.

"Renjun," panggil wanita tua yang tadi sempat bersuara.

"Jangan katakan apapun, apapun yang aku dengar dirumah ini tidak ada yang menyenangkan. Jika Nenek kecewa padaku, aku terima," tandas Renjun melepas pelukan Ayahnya.

Ia menatap satu persatu orang yang ada disana. Tatapannya mengarah pada Siwon kembali. "Siapa aku?" Tanyanya.

Siwon yang merasa bingung hanya mampu mengernyitkan dahinya. Tangannya bergerak meraih lengan anaknya.

"Siapa aku? Siapa aku, Ayah?! Apa aku anakmu?! Anak kalian?!" Renjun mengubah nadanya sedikit lebih tinggi. Memandang bergantian antara Siwon dan Yoona. "Anak siapa aku?!"

"RENJUN." Satu-satunya pria paruh baya yang sudah mencapai usia 60 tahun itu kini angkat bicara dengan suara menggelegar. "Hentikan, Renjun. Apa yang kau bicarakan? Kau cucuku tentu saja," ucapnya.

Yunho dan Krystal ikut berdiri, sekedar untuk mengantisipasi hal yang tidak di inginkan.

Renjun tersenyum getir, tangannya bergerak merogoh sesuatu dari saku celananya. Melempar sebuah foto yang sempat ia lihat sore tadi. Siwon dan seorang wanita hamil yang diketahui Huang Wendy. Membiarkan foto itu tergeletak begitu saja dilantai.

"Anak siapa aku sebenarnya?!" Tudingnya pada Siwon yang diam membeku. Tangannya mencengkram kerah kemeja ayahnya dengan kuat. Urat dilehernya timbul, tanda ia benar-benar marah. Namun matanya tidak bisa berbohong bahwa Renjun tengah dilanda kesedihan yang mendalam. Tidak ada seorangpun yang percaya dan dapat dipercaya olehnya. "JAWAB AKU AYAH!"

Yoona datang dengan kemarahan menggebu. Wanita itu menarik Renjun secara kasar dan mencengkram rahang pemuda Huang itu dengan kuat. "Apa yang kau bicarakan, huh? Semakin hari tingkahmu semakin menjadi. Apa karena Ayahmu berubah baik padamu, kau jadi bisa bersikap seenaknya?" Ucap wanita itu tajam. "Sudah berani berteriak dihadapan orang tua? Dimana sopan santunmu?" Lanjutnya.

Haechan datang dengan tergopoh. Menghampiri dan menarik Renjun dari cengkraman wanita yang sedang dilanda emosi. "Maaf Nyonya, saya lancang. Setidaknya jangan berbuat kasar lagi padanya. Cukup Johnny yang sudah memukulnya, jangan ditambah lagi," ujar pemuda Lee itu.

Renjun melepas pegangan Haechan pada tangannya. Ia tahu Haechan datang asal usulan Ten, tentu saja, memang siapa lagi yang akan memberitahunya selain kucing Thailand itu?

"Sopan santun anda bilang? Memangnya anda pernah merasa mengajarkan saya tentang itu? Jika tidak, tutup mulut anda, Nyonya Na," tekan Renjun. Sungguh, emosinya telah mencapai batas maksimal. Siapa yang berani menyinggungnya, ia tidak akan segan lagi untuk melawan.

Hei, setiap manusia dibekali akal dan nurani, juga kesabaran. Namun jika semua hal itu sudah mencapai batas maksimalnya, siapa yang bisa menahannya lebih lama? Renjun sudah cukup bersabar untuk semua yang terjadi, kini gilirannya menyuarakan apa yang ia pikirkan. Setidaknya untuk kenyamanan diri sendiri.

Yoona kembali maju ke arah anaknya itu, mendorong Renjun hingga tersudut ditembok. "Saya memang tidak pernah punya waktu untukmu. Tapi apa kau tidak mengerti tentang itu? Anak saya lebih membutuhkan saya dari pada kau," ujar Yoona dengki.

DIFFERENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang