4

37.1K 6.6K 2.2K
                                    

Typo mohon maaf!

Renjun muak. Ini sudah hari kedua ia dikunci dalam kamar mandi. Tidak ada tanda seseorang akan membukakan pintu untuknya. Tubuh lemasnya yang terlihat kacau itu berusaha menggapai gagang pintu, menggedornya pelan tanpa tenaga. Lambungnya perih bukan main karena tidak mendapat asupan. Bahkan ia tak tahu saat itu siang atau malam.

Kesadarannya mulai menipis saat kepalanya terkantuk tembok. Apa ayahnya lupa?

.
.
.
.

"Renjun," hanya sayup-sayup suara itu terdengar.

"Renjun! Aku tahu kau mendengarku, bangunlah kau aman," tutur Haechan sekali lagi mengguncang perlahan tubuh mungil itu. Sebelas jam sudah Renjun tak sadarkan diri. Selama itu pula ia dirawat disalah satu rumah sakit besar di pusat kota Seoul.

Kelopak mata itu terbuka pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Renjun menatap sahabatnya itu heran. Ruangan yang diliputi warna putih, serta Haechan yang menyambutnya dengan senyum merekah.

"Syukurlah kau sadar, aku sangat takut saat tahu kau dikurung dikamar mandi selama itu," imbuh Haechan menggenggam hangat jemari lentik itu. Pemuda berkulit tan itu tampak berkaca-kaca. "Maaf karena tidak datang lebih awal, maaf."

"Ah, tidak apa. Terimakasih sudah membantuku," balas Renjun tanpa mau memusingkan keadaan yang telah menimpanya. "Bagaimana kabar Jaemin?" Tanyanya seraya mendudukkan diri. Rasa pusing menghantam keras kepalanya.

"Seperti biasa, dia juga dirawat disini. Keadaannya masih sama, atau mungkin sudah lebih baik," ucap Haechan. Tangannya mengambil semangkuk bubur di nakas. Lantas menyuapi Renjun dengan telaten. Setelah sebelumnya memberikan minum.

Renjun mengangguk, "setidaknya jika dia sudah sadar, dia bisa menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Kau tahu aku tidak pernah ada niat buruk padanya?" Renjun memandang Haechan teliti.

"Ya, aku tahu itu. Sebentar lagi dokter akan datang, kau juga harus melakukan cuci darah." Haechan berbalik memandang tajam manik indah itu. "Kau gila? Sudah berapa lama mengabaikan hal itu? Jika mau mati jangan seperti itu caranya!"

"Aku hanya belum punya waktu," balas Renjun acuh.

"Alasan."

"Selamat siang," ucap seseorang di iringi derit pintu.

"Oh selamat siang dokter," ucap dua sahabat itu seraya memamerkan senyum ramah.

"Sudah siap menjalani cuci darah, Renjun?" Tanya dokter dengan dimple menghiasi pipinya itu.

"Iya, dokter," Renjun membalas. "Tapi sebelum itu saya mau lihat keadaan saudara saya dulu, apa boleh?"

Pria itu mengangguk. "Tentu. Satu jam lagi temui aku diruanganku," ucapnya sebelum kembali keluar dari ruangan itu.

"Haechan, kau tahu ruang rawat Jaemin?" Yang ditanyai mengangguk. "Ayo, antar aku ke sana."

Dengan hati yang berat, Haechan membantu lelaki Huang itu untuk turun dari ranjangnya. Membawa tiang besi tempat menggantung infus. Sedikit iba saat melihat Renjun berjalan tanpa alas kaki. Sempat menawari sepatu miliknya namun ditolak oleh pemuda itu.

Renjun menghentikan langkah tepat didepan sebuah ruang rawat VIP. Sejenak memandang Haechan, lalu berkata. "Pergilah, aku ingin sendiri disini." Haechan mengangguk patuh.

Pemuda Huang itu memandang ke dalam melalui kaca transparan di pintu. Anggota keluarganya berada disana semua. Tidak heran, karena ruangan yang luas dan nyaman. Jaemin nampak sudah siuman dengan kain kasa menempel pada kepalanya juga lengannya yang terdapat infus sama sepertinya. Renjun sedikit heran karena tidak mendapati ayahnya disana. Ah, mungkin pria itu sedang ada keperluan.

DIFFERENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang