40

57 15 4
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Tujuh. Ingatanku telah benar-benar samar. Sudah tujuh tahun setelah kisah kita berakhir, Nil. Kamu harus tahu, betapa aku menguras otak demi mengingat kebodohan. Kalimat di atas bohong. Nyatanya aku selalu ingat tentang hal-hal yang menyakitimu, meski memang tidak detail.

Sebentar lagi matahari kisah kita tenggelam. Ibarat waktu, sekarang ialah senja dan surat kedelapan adalah malamnya. Entah apa yang akan terjadi setelah aku merampungkan cerita ini. Yang jelas, semoga itu adalah hal baik.

Sehari setelah "penolakan" tersiratku dahulu, kamu kembali ceria. Seperti tidak ada apa-apa sebelumnya. Aku terlalu takut menanyakan kabarmu. Kemudian keadaan mencair seperti semula. Pulang sekolah kita menongkrong di taman biasa. Bicara sana-sini tanpa topik pasti. Yang jelas, semuanya mengalir tanpa direncana.

Ingat kisah Gandari dan Dretarastra? Tokoh pewayangan. Aku ulas kembali, ya. Soalnya aku senang mengingat momen itu.

Sambil memainkan tangkai bunga liar yang dipetik sembarangan, aku berkata, "Nil, kamu tahu Gandari dan Dretarastra?"

Seperti dugaanku, kamu menggeleng. "Enggak. Mereka siapa dan kenapa?"

"Mereka orang tua Kurawa, seratus bersaudara di Kerajaan Hastinapura. Musuh dari Pandawa itu, tahu?" Sekarang kepalamu terangguk. Bagus, Nil, sedikit tahu pun sudah cukup. "Aku mau cerita tentang mereka. Yang kupakai ini versi Kitab Mahabarata dari India, ya."

"Mau dengar!" Tatapanmu terlibat antusias. Nah, Nilam memang ekspresif, benar? Hihi.

"Dretarastra ini tunanetra sejak lahir. Karena sifatnya memang sedikit temperamental dan harga dirinya tinggi, dia enggak suka dianggap beda dengan saudaranya yaitu Pandu, ayah Pandawa. Singkat cerita, karena umur Dretarastra sudah matang, Resi Bhisma datang ke Kerajaan Gandhara untuk meminang putri kerajaan yang bernama Gandari.

"Di sisi lain, Gandari ini putri yang cantik. Dia mengidamkan pernikahan dengan orang berparas tampan dan hidup bahagia selamanya. Apa lagi, saat itu ada pinangan dari kerajaan besar seperti Hastinapura. Gandari terbang dibawa ekspetasi.

"Harapannya melambung tinggi, kalau diibaratkan bisa saja keluar Galaksi Bimasakti. Sehari menjelang pernikahannya, barulah dia tahu kalau pangeran mahkota yang akan menikahinya itu ... tunanetra. Hancur semua mimpi indah Gandari. Bisa kamu bayangkan, Nil?"

Kamu menggigit bibir dengan mulut melengkung ke bawah. "Lalu apa, Fall? Apa yang terjadi selanjutnya? Mereka tetap menikah? Atau batal? Aduh, kasihan sekali."

Aku tertawa pelan. "Pertanyaan mana yang harus dijawab duluan?"

Usil sekali tanganmu mencubit lengan atasku. Pelan, sih, tetapi efeknya sampai ke perut. Menggelitik. Aneh, gelenyar mendebarkan seperti bersama Clarinta dulu. Maaf, lewati saja.

"Kemudian ... Gandari bersumpah kalau seumur hidup matanya akan ditutup kain. Supaya seluruh dunia yang selama ini indah turut gelap seperti calon suaminya. Dretarastra mendengar hal itu dan tidak percaya jika apa yang dilakukan Gandari berdasarkan pengorbanan dan wujud kesetiaan. Dia menganggap Gandari menghinanya.

"Namun, karena pernikahan sudah ditentukan, mereka tetap melangsungkannya. Jadilah kedua orang yang menatap gelap itu hidup bahagia dengan cara mereka. Saling menerima meski dalam keterbatasan," ucapku panjang lebar. Aku menoleh. "Apa yang bisa diambil dari kisah mereka?"

POSTERIOR (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang