8

80 24 16
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Sebuah kumpulan kertas yang dipasang penjepit berisi laporan bahwa aku telah menyelesaikan paket hari ini sudah di genggaman. Dengan senyum mengembang karena pekerjaanku selesai, kaki melangkah menuju gedung besar yang di atas pintunya bertuliskan "KAPEELI" berwarna biru keunguan, tetapi ada gradasi hitam, tampak sangat besar dan menunjukkan kekuasaannya.

Kudengar, Se-Ri yang membuat logo itu dan namanya sekaligus. Dia menyukai warna biru dicampur ungu dengan gradasi hitam. Ah, selera Se-Ri selalu bagus. Apa warna kesukaanku, ya? Kalau dahulu … kurasa semua yang disuka Rifall adalah hal kesukaanku juga. Seperti pepatah burung tentang “apa pun yang disuka crush-mu, pasti kamu menyukainya” dan itu benar, tetapi untuk sekarang sepertinya tidak.

Rifall suka warna abu-abu, kelabu, tidak gelap maupun terang.
Menurutnya warna abu-abu berada di tengah, sama seperti dia kala itu. Di antara masa lalu dan masa kini, di antara perasaanku dan perasaannya, di tengah antara mau mulai langkah baru atau diam di tempat saja.

Sudahlah, berjalan menuju ruang pengumpulan laporan saja aku sempat untuk memberikan ruang pada Rifall di kepala. Kutatap Mbak Eka dengan kacamata dan hijab berwarna merah itu, lalu memberikan kumpulan kertas di tangan. "Ini laporanku, Mbak."

Tidak seperti biasa yang menyapa dan tersenyum, kini dia tampak menunjukkan raut sedih dengan mata sayu. Saat selesai kertasku di-scan untuk mengecek apakah paketnya telah diterima atau belum dan diberi stampel, dia memberikannya padaku dan akhirnya berkata, "Nilam, sabar, ya. Nanti pasti diganti lebih banyak sama Yang Maha Kuasa."

Aku mengernyit bingung, baru ingin meminta penjelasan, Pak Sandi turun dari tangga dan memintaku untuk ikut ke ruangannya. Dialah direktur ekspedisi ini, pamannya Se-Ri. Jantungku seperti mau copot, Pak Sandi tidak mungkin memanggil seseorang jika bukan hal fatal.

Ruangan bernuansa putih dengan jam sebagai pusat dindingnya, beberapa foto yang jelas mengabadikan momen-momen dalam hidup Pak Sandi tertempel banyak. Seperti saat Se-Ri mendesain logo, mereka berfoto sambil mengacungkan ibu jari dan cengiran bahagia. Juga saat peresmian KAPEELI sebelas tahun silam. Tak lupa keluarga kecil Pak Sandi, satu istri dan dua anak kembar yang masih kecil.

Beliau memijit kepala sebelum akhirnya menatapku dengan serius. "Kenapa kamu enggak bilang kalau memecahkan guci, Nilam?" Mendengar itu jantungku lepas dari rongganya. Mati aku. Mataku memutar, berusaha mencari alasan.
"Ah, bukan masalah kamu memecahkan guci. Namun, kenapa kamu membayar kompensasi sebanyak 30 juta?"

Wajah Pak Sandi tampak pasi, degup jantungku makin kencang, rasa kelu mengitari sekujur bibir. Dengan tangan terkepal, kubuka mulut dan akhirnya berkata, "Iya, Pak."

Tepat ujung intonasiku, Pak Sandi menepuk dahinya, lalu berseru geram. Apa sefatal ini? Dia kemudian menaruh map yang dipegangnya sejak tadi saat keadaan mulai tenang. "Lihat ini, harga barang tertulis di sana. Guci itu cuma 3 juta, kenapa kamu--"

Aku sudah tak mendengar apa pun lagi, telinga berdengung dengan kepala berputar. Dalam pikiranku sekarang berisi wajah galak rentenir bertubuh besar yang akan menyiksaku jika tidak membayar utang pada mereka. Ya Allah.

Tiga puluh juta bukan nominal yang sedikit, kupejamkan mata dan merunduk, beristigfar beberapa kali supaya dapat berpikir jernih dan tidak meledak di ruangan ini. Sampai satu tepukan mampir di bahu. "Kamu dengar saya, Nilam?" Ah, itu Pak Sandi. Dia memijat pelipis, sepertinya pusing dengan karyawan sepertiku. Kemudian menatap lamat ke arahku.

"Seseorang melaporkan kejadian ini karena beliau tahu jika ekspedisi kami tidak akan mengantar barang lebih dari empat juta. Dia juga menggantikan uang kamu," ucapnya, lalu melempar map berwarna coklat muda, kulirik sebentar sebelum akhirnya kuambil dan hitung singkat.

POSTERIOR (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang