43

58 15 1
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Aku kira kemarin---ketika hari ulang tahunku---adalah akhir dari kami. Namun, nyatanya tidak begitu. Sulit untuk menghindari dia, sesesak apa pun hatiku. Kami justru bersikap seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya. Berbincang seperti semula.

Aneh, ya? Padahal aku sudah menangis begitu. Masih saja hatiku tertaut. Jujur saja, aku tidak tahu bagaimana cara menaikkan jangkar yang sudah tenggelam terlalu dalam.

Lagi-lagi di perpustakaan. Aku dan Rifall duduk di pojok, tidak ingin ketahuan pustakawan kalau kami hendak berbincang. Ini memang tidak baik untuk ditiru. Jadi, jangan lakukan.

Kepalaku dipangku tangan kanan. Menatap Rifall yang sedang saksama membaca dari samping. Dia tak terusik meski sinar matahari menyinari wajahnya. Melihat Rifall seperti itu, dadaku menghangat. Manis sekali.

Nah, diri ini lupa kalau kemarin baru saja dibuat menangis. Memang dasar hati sudah mengambil alih logika. Maafkan aku yang munafik.

Sempat kulihat sampul buku tua yang dibacanya. Judulnya “Madilog” karya Tan Malaka. Jujur, aku tidak mengerti kenapa Rifall suka hal-hal seperti itu. Bukankah membingungkan topik bahasannya?

Buku itu tebal dengan sampul warna merah. Ada kata-kata lagi selain judul dan penulis. Materialisme, Dialektika, dan Logika. Oh, itu adalah kepanjangan dari judul. Kepalaku refleks tergeleng. Tidak mengerti artinya.

“Itu buku tentang apa?” tanyaku.

Tak butuh waktu lama, Rifall menoleh. Namun, tetap memakan waktu baginya untuk menjawab pertanyaan sederhanaku. “Manusia, mungkin? Atau sifat dan perangai.”

“Kenapa harus ada ‘mungkin’ dan ‘atau’?”

“Manusia.”

“Kamu suka buku seperti ini?”

Senyumnya kian berkilau didukung pencahayaan. “Kenapa? Kamu enggak suka?”

Aku berdecak sesaat. “Kebiasaan, pertanyaan dibalas pertanyaan.”

“Iya-iya. Aku suka. Kalau kamu?”

Netraku mengerling. “Lebih ke enggak paham buku kayak begitu. Terlalu berat buatku.”

Rifall menutup buku mirip kamus itu, duduk menghadap aku dengan tatapan intens. “Nah, itulah. Nilam selalu memberi sugesti ke dirinya sendiri sebelum mencoba sesuatu. Memang sudah pernah baca?”

Ringisan terdengar dari mulutku. “Belum.”

Dia terkekeh pelan. Entah karena apa. “Ya sudah, enggak perlu kalau enggan. Untuk aku pribadi, buku ini ikonik. Salah satu karya yang aku selalu ingat isinya.”

“Mau ceritakan sedikit untukku?” Permintaanku Rifall balas senyuman. Aduh, dia kira senyum bisa membeli semuanya? Namun, kenyataannya, hal tersebut berlaku untukku.

“Ada satu kalimat di buku ini yang singkat, tetapi melekat. ‘Berpikir besar kemudian bertindak.’ Itu hanya empat kata sederhana, Nil. Namun, orang-orang sering mengbaikannya. Mungkin itu yang paling aku ingat dan dijadikan pegangan. Pernah kubilang untuk jangan gegabah, ‘kan?”

Aku temukan semesta di pupil gelapnya. Akan tetapi, bukan hanya itu yang kucari. Dari sudut mana dia menatap dunia ini? Mengapa sesuatu dari diriku selalu tertarik ke Rifall?
Bukan. Ini bukan perkara rupa maupun paras. Aku sendiri sadar bukan makhluk menawan.

POSTERIOR (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang