Selamat datang, selamat membaca.
***
Mataku sudah sejak tadi berkaca-kaca menahan sesak. Entah kenapa setiap kalimat yang dilontarkan Bu Shinta tadi begitu menyakitkan. Di mana dia bisa mendapat uang sebanyak itu dalam waktu tiga hari?
Dari balik kaca helm, sebulir air mata menetes dari kelopak mataku. Hari ini begitu sial. Sebenarnya, tanggal 26 itu pembawa keberuntungan atau kemalangan? Salah satu alasanku tidak mau merayakan ulang tahun yang jatuh setiap tanggal 26 Mei adalah ....
Ngomong-ngomong, aku baru sadar bahwa tepat sewindu yang lalu aku dan Rifall ... selesai. Tidak! Aku memohon kepada otakku agar berhenti memikirkan lelaki tersebut. Setidaknya, jangan mengganggu pekerjaan. Nanti saja jika ingin bergelut dengan masa lalu dan rasa sakit itu.
Suara azan Zuhur membuat aku membelokkan motor ke sebuah masjid di pinggir jalan. Akan kusembahkan sujud ikhlas dan memanjatkan doa paling serius siang ini. Memohon agar hal baik segera datang dan jangan ada lagi rasa sakit. Lama-lama jiwa rapuhku bisa runtuh.
Melepas sepatu butut yang sudah lusuh beserta kaus kaki berwarna hitam. Masjid terlihat sepi, entah memang setiap hari begini atau karena azan baru berkumandang. Kakiku melangkah menuju ruang wudu khusus perempuan. Air segar mengalir, berbanding terbalik dengan kepala yang panas dan pusing. Mengambil wudu tanpa berlama, aku masuk ke ruangan besar tempat salat dan beberapa lemari berisi mukena serta sajadah.
Setelah mengambil satu setel rukuh berwarna putih dengan sajadah merah, aku duduk menunggu muazin melantunkan ikamah. Dua tanganku mengusap wajah berulang kali, berharap dapat menghilangkan segala hal buruk yang terjadi.
Mengapa rasanya berat sekali kehidupan ini? Ditinggalkan orang tua, hidup sebatang kara, terlilit utang, terpenjara kenangan.Aku sudah persis seperti Rifall yang dahulu; terjangkit posterior sindrom.
Apa kabar Rifall, ya? Dia masih suka mendaki gunung dan merangkai diksi? Bagaimana visualnya sekarang? Sepeda ontel tua itu masih sering dipakai?Ah, banyak sekali pertanyaan yang ingin aku ketahui. Namun, apakah bisa bertemu lagi? Semesta tidak selalu memberikan nasib baik bagi penghuninya. Tak semua cerita berakhir manis seperti sinema televisi. Tiada yang namanya kebetulan. Semua sudah terstruktur sejak dahulu.
Nahas, aku dan Rifall justru harus menjalani hidup masing-masing lagi seperti semula. Kami hanya dua manusia yang tidak bisa menolak cara kerja dunia; datang dan pergi.
Kenapa kenangan tentangnya terus-menerus berdatangan tanpa mau pergi dari hati dan pikiran? Bagaimana caraku melupakan Rifall dengan semua kenangan singkat yang menyenangkan?Ikamah terdengar, membuat lamunanku terhenti. Aku bangkit, mulai menyembah pada Sang Pemilik Kehidupan. Di sujud terakhir beribadah siang hari ini, kulantunkan banyak sekali doa pada Tuhan, meminta hal yang entah pantas kupinta atau tidak. Napasku mulai tak karuan lagi, apa boleh aku menangis sebentar lagi?
"Why you cry?" tanya Rifall.
Kepalaku mendongak. "Enggak nangis. Hanya sebuah usaha membasahi kornea mata. Baik untuk kesehatan."
Rifall menarik napas. "Jangan alihkan pembicaraan, Nil."
"Bukankah kamu yang selama ini berbuat demikian?"
Segera menyelesaikan ibadah. Bahkan, saat aku berhadapan dengan Tuhan, kamu muncul dalam kepala, Fall. Kuarahkan tangan untuk melipat mukena dari masjid, setelah itu keluar dengan cepat, menuju motor. Ayolah, aku harus mengganti uang Bu Shinta sebesar 30 juta.
Aku menepuk pelan pipi sebelum mengaktifkan motor, berkata pada diri sendiri. "Kali ini harus fokus!" Kemudian kuaktifkan motor dan mulai mengantar paket kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
POSTERIOR (Completed)
Romance"Jutaan jam berteman sepi, hanya karena dua puluh enam hari?" *** Kata orang, masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran. Cerita yang mengisahkan hal tersebut sudah terlalu banyak di dunia. Namun, ending masing-masing berbeda, 'kan? Terlepas pengertia...