Selamat datang, selamat membaca.
***
Akhirnya kami sampai di restoran dengan plang besar bertuliskan "McD". Kak Zico membelokkan mobilnya hati-hati dan memasuki tempat yang agak gelap di sebelah kiri pintu utama restoran. Aku mengernyit, satu pertanyaan muncul di benakku. "Kak, kalau kita pesan langsung dan makan di dalam mobil saja kenapa?"
Kak Zico menjalankan mobilnya sedikit demi sedikit, sambil menjawab pertanyaanku. "Kamu mau turun dari mobil? Itu merepotkan."
Aku mengangguk saja, sementara dua rempong di tengah mobil ini sibuk berfoto-foto menggunakkan ponsel Kak Zico yang katanya berkamera bagus. Aku juga bingung, kenapa mereka bisa seakrab ini dalam sekali pertemuan? Ah, ngomong-ngomong, aku dan Rifall pun begitu dahulu.
Yang bisa kulakukan hanya memperhatikan Kak Zico, dia berbicara dengan Mbak Penjaga di sana, seperti sedang menentukan menu. Ditatapnya aku, Fany, dan Putri bergantian, kemudian dia kembali mengobrol dengan Mbak tadi, lihatlah bagaimana cara Kak Zico berkomunikasi, dia bahkan beberapa kali membuat Mbak penjaga tersenyum bahkan tertawa.
"Oke, terima kasih banyak, Mbak." Kak Zico kemudian menatapku. "Apa? Intens banget ngelihatinnya."
Buru-buru kubuang muka dan melihat jendela yang berada di sisi kiri mobil. Tiba-tiba Fany nyerocos, "Kak, udah? Kita enggak bayar?"
Kak Zico terkekeh sebentar. "Ini di depan bayar, kamu lihat tulisan itu enggak?"
Fany mengangguk, aku jadi ikutan melihat arah yang ditunjuk Kak Zico. Ternyata benar-benar ada tulisan "Bayar di sini". Mobil hitam di depan kami pergi dan saat untuk membayar, jujur, tidak enak rasanya apa-apa dibayar oleh Kak Zico, tetapi bagaimana lagi? Aku mana punya uang.
Lanjut, mobil melaju sedikit demi sedikit ke tempat bertuliskan "Ambil di sini". Setelah mengambil bungkusan kantong plastik berisi makanan, mobil Kak Zico kembali ke indekosku dengan elegan.
Satu per satu dari kami keluar dari benda beroda empat itu, memasuki kamar berantakanku lagi. Kak Zico membuka pintu lebar-lebar, sengaja. “Kenapa dibuka, Kak?” tanya Fany.
“Biar enggak ada salah paham. Nanti saya dikira ngapain. Memang ibu kos enggak di sini?”
Putri menggeleng. “Enggak, Kak, dia tinggal di rumahnya, lumayan jauh. Paling ke sini kalau menagih uang bulanan.”
Kak Zico duduk di sebelahku lagi, menaruh kantong plastik di atas meja berkaki rendah. “Yang menjamin keamanan dan memantau tamu di sini siapa?”
“Kalau ada tamu, 'kan, kelihatan sama yang lain, jadi bisa saling pantau. Kayak Kakak ini, enggak boleh main ke kamar Mbak Nilam tanpa kami!” seru Fany semangat.
Tawa menggelegar. Kak Zico mengusap matanya yang berair. “Ya ampun, saya enggak sebejat itu. Sudah, ayo dimakan.”
Kak Zico menyerahkan satu choco pie hangat padaku. Senyum tipis terulas. “Terima kasih, Kak.” Lepas mengangguk, dia menyodorkan apple pie masing-masing satu untuk dua teman indekosku.
“Makasih banyak, Kak Zico,” ucap mereka berbarengan.
Makanan manis di tanganku terbengkalai karena aku sibuk melirik Kak Zico yang meletakkan empat gelas minuman bersoda serta membuka bungkus burgernya. Tak satu gigitan pun terlewat dari atensiku. Melihatnya makan sambil berbincang entah kenapa membuatku senang.
“Buset, Mbak Nilam sampai enggak kedip natap Kak Zico!”
Pekikan Fany menyadarkanku dari lamunan. Kak Zico tersenyum penuh arti sembari menaik-turunkan alisnya. Hue, malu sekali!
“Fany nakal, enggak perlu diomongin juga saya udah tau. Tuh, Nilam jadi berhenti ngelihatin saya,” sambar Kak Zico.
Aku membuang wajah ke arah kiri, menyibukkan diri dengan choco pie manis. Gelak tawa kembali terpecah, berasal dari tiga manusia lain yang menempati kamarku saat ini. Acara bincang-bincang berlangsung sampai pukul setengah sebelas malam. Kak Zico yang pertama kali berdiri. “Saya harus pulang, udah malam. Maaf kalau kurang sopan bertamu malam-malam begini.”
Ketika aku hendak bangkit untuk mengantarnya keluar, Kak Zico berucap, “Enggak perlu, Lam, udah malam. Saya pamit pulang, assalamualaikum.”
Dengan kompak aku dan Fani beserta Putri menjawab salam. Tak lupa mengucapkan hati-hati. Setelah Kak Zico pergi, aku memunguti bungkusan kotor, lalu membuangnya ke tempat sampah. “Kak Zico pacar Embak?” tanya Fany.
Terkejut dengan pertanyaan gadis berambut panjang itu, aku terkesiap. “Eh? Bukan.”
“Kita juga balik, ya, Mbak, udah malem,” pamit Putri.
Aku mengangguk. “Makasih udah mau main.”
“Makasih juga, Mbak, akhirnya bisa makan enak!”
Dua mahasiswi itu menutup pintu kamarku. Aku menghela napas panjang. Fiuh! Benar kata mereka, hari sudah larut, sebaiknya aku segera tidur karena besok harus mulai bekerja di Cz Drink.
Namun, seperti biasa, otakku menolak berhenti memikirkan masa lalu. Kembali aku terlempar pada waktu itu.***
AN:
Terima kasih telah selesai membaca bagian 16. Masih kuat baca flashback, 'kan?
Regard:
maylinss_
jurnalharapan
KAMU SEDANG MEMBACA
POSTERIOR (Completed)
Romance"Jutaan jam berteman sepi, hanya karena dua puluh enam hari?" *** Kata orang, masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran. Cerita yang mengisahkan hal tersebut sudah terlalu banyak di dunia. Namun, ending masing-masing berbeda, 'kan? Terlepas pengertia...