Selamat datang, selamat membaca.
***
Syukurlah di dalam rumah indekos, tidak ada yang menyapa lagi karena sisa penghuni sibuk dalam bilik masing-masing, mungkin sibuk menggarap skirpsi karena memang rerata anak kuliah.
Seperti yang pernah kubilang, ada sepuluh penghuni indekos ini termasuk aku. Mari aku absen satu per satu. Yang menempati rumah atas---harus naik tangga menuju kamar---ada aku, Fany, Putri, Nita, dan Erin. Untuk bagian bawah diisi oleh Debby, Riska, Tari, Nurul, serta Olga. Untuk rincinya kapan-kapan saja.
Lepas bersih-bersih dan melaksanakan ibadah, aku merebahkan diri di kasur lapuk. Rambut basahku terbalut handuk, menahan sisa air keramas agar tidak membasahi baju tidur yang kukenakan. Rasanya segar bisa bersinggungan dengan air.
Aku meraih benda pipih penuh retakan, lalu menyalakan layarnya. Melihat ada notifikasi dari penyelamatku, langsung kubalas tanpa lama.
Penyelamatku!
Selamat malam. Nilam, ya?
Benar, Pak/Bu. Saya ingin berterima kasih atas kemurahan hati Bapak/Ibu. Sungguh, saya bersedia mengabdi bahkan lebih dari yang dijanjikan, 8 bulan.
Begini, mungkin lebih nyaman jika dibicarakan langsung. Apakah Minggu besok kamu bisa bertemu saya?
Tentu, Pak/Bu, di mana lokasi dan jam tepatnya?
Cz Drink, pukul sepuluh pagi.
Siap, Pak/Bu.
Sepertinya dia orang kaku. Bahasanya terlalu baku. Eh? Astagfirullah, suuzan lagi. Lagi, untuk kesekian kali, ucapan Rifall terngiang. Kata orang, jangan nilai buku dari sampulnya dan menurutku itu benar.
Aku membuka loker yang terdapat pada samping kasur. Banyak barang tidak tertata, tetapi dengan mudah kutemukan benda yang dicari. Sebuah pulpen berwarna merah. Kembali menghangatkan tubuh dengan selimut, aku memandangi benda tersebut.
Benda pertamaku yang pernah dipegang Rifall. Karena pulpen inilah aku bisa menuliskan rangkaian kisah dalam hati. Pertemuan remeh dan biasa saja menimpa dua remaja yang mudah terbuai ketulusan. Aneh, ya?
Kuputar pulpen tadi dengan tatapan menerawang. Andai hari itu tidak bertemu dengan Rifall, sekarang aku sedang apa? Dia yang mengajarkanku tentang indah dan pedihnya cinta. Aduh, kian berat saja isi pikiran ini.
Aku berinisiatif menyalakan musik yang sekali dengar saja begitu mendeskripsikan perasaanku untuk Rifall. Lagu Raisa berjudul "Jatuh Hati" langsung terputar tatkala tombol play ditekan.
Ada ruang hatiku yang kau temukan
Sempat aku lupakan kini kau sentuh
Aku bukan jatuh cinta
Namun, aku jatuh hatiAku menyunggingkan senyum tipis. Rifall, kamu bisa dengar? Ini adalah cerminan perasaanku.
Ku terpikat pada tuturmu
Aku tersihir jiwamu
Terkagum pada pandangmu
Caramu melihat dunia.Tiada yang tahu bagaimana perasaannya padaku, tetapi paling tidak, dia paham apa yang kurasa. Tidak ada tuntutan dalam cinta, seharusnya. Lantas, yang dilakukan seorang Nilam selama ini ... apa?
Aku memeluk diri, berusaha menghalau rasa dingin dan rindu yang menyatu. Dadaku sesak jika sudah teringat tentang Rifall. Bagaimana bisa visualnya terus membayangiku selama delapan tahun?
KAMU SEDANG MEMBACA
POSTERIOR (Completed)
Romance"Jutaan jam berteman sepi, hanya karena dua puluh enam hari?" *** Kata orang, masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran. Cerita yang mengisahkan hal tersebut sudah terlalu banyak di dunia. Namun, ending masing-masing berbeda, 'kan? Terlepas pengertia...