Selamat datang, selamat membaca.
***
Aku membekap mulut dan duduk di atas kasur. "Sumpah? Beli makanan itu habis 1,5 juta? 46 bungkus itu buat siapa aja?"
Gelengan tak percaya di kepalaku untuk Kak Zico, aku ingat kertas ini. Tadi terjatuh saat kami hendak turun di mobil, aku mengambilnya karena kupikir tak baik meninggalkan sampah di mobil sebagus itu. Namun, ternyata ini adalah struk pembelian makanan yang Kak Zico bagi-bagi tadi.
Lucunya, dia sendiri tidak mengambil satu pun makanan itu. Ada sekitar 23 bungkus dan dibagi merata ke seluruh indekos dan Kak Zico malah membeli burger untuk dirinya. Apa itu mengenyangkan?
Kusambar lagi ponsel dan melihat jam yang menunjukkan pukul 2 dini hari. Menghubungi Kak Zico pun percuma, dia pasti sudah tertidur. Baru hendak mematikan ponsel, satu notifikasi membuatku urung.
Kak Zico
Stupid, kenapa masih online?
Aku membelalak, kenapa bisa dia yang memberikan pesan? Setelah berpikir kurang lebih dua menit, akhirnya aku memberikan jawaban.
Tadi kebangun, Kak.
Kakak sendiri kenapa online?Nilam bodoh! Aku mengutuk diri sendiri karena sudah bertanya hal begitu pada atasan. Pasti besok Kak Zico langsung memecatku dan menjadikanku tontonan agar tidak dicontoh karyawan lain.
Kak Zico
Lapar
Kakak udah makan lagi? Apa cuma makan burger tadi aja?
Belum
Ini saya mau beli
Kamu mau juga?Aku langsung melotot. Buru-buru kutolak itu dengan bahasa sehalus mungkin. Mana bisa begitu? Sedari tadi dia sudah banyak mengeluarkan uang. Aku tenang karena pada akhirnya Kak Zico tidak membalas lagi, dia hanya membaca saja pesanku.
Kutaruh ponsel di sampingku, saat mata hendak memejam lagi, satu panggilan masuk. Membuat mataku lagi-lagi terbuka lebar.
Panggilan masuk dari Kak Zico ….
Kugeser ikon hijau setelah mengatur napas agar lebih tenang. Dia kenapa meneleponku? Ya ampun, langkah online-ku tadi salah besar.
"Assalamualaikum …."
"Waalaikumsalam, Kak."
"Lima belas menit lagi saya sampai di indekosmu, siap-siap, ya. Kita makan soto mi dekat sana."
Tut.
Wajahku cengo sejenak, tak mengerti. Aku menurunkan ponsel dari telinga dan langsung bergegas mencari baju. Harus pakai apa pergi malam-malam begini?
Baru selesai memakai kardigan hitam berbahan kaos dan tengah menyisir rambut, satu pesan dari Kak Zico membuatku menghela napas kasar. Dia sudah sampai, tanganku bergerak panik, membuat sisir yang sedang kupakai menyangkut di kepala.
Entah keberapa kali, aku berdecak. Ayolah, jangan buat orang lain menunggu. Kutarik-tarik sisir itu tidak bisa, sampai satu panggilan masuk dari Kak Zico. Buru-buru kuangkat dengan tangan kiri."Assalamualikum, Kak."
"Waalaikumsalam, saya kira kamu ketiduran. Ini saya udah di depan."
Aku mengusap wajah kasar, frustasi dengan sisir bergagang ungu teras yang melilit di kepala. Kucoba sekali tarikan lagi dengan kencang, sampai kepalaku ikut tertarik. "Aduh!" seruku ketika terhantam dinding karena terlalu kuat.
"Lho? Kenapa kamu?" Nada suara Kak Zico berubah, aku diam sebentar. Sebelum satu cubitan dari tangan sendiri membuatku sadar.
"E-enggak, Kak. Ini sisir nyangkut di kepala," jawabku jujur dan sedetik setelahnya aku menjambak rambut sendiri. Kenapa bisa aku terus mengatakan hal-hal memalukan pada Kak Zico.
Terdengar suara tawanya, lalu dia berucap, "Sini ke mobil aja, saya bantu."
Aku mengangguk, meski Kak Zico tidak bisa melihat itu. Dia mematikan sambungannya dan aku segera turun ke bawah dengan wajah kusut. Tidak hanya rambut yang begitu, pasalnya kepalaku sudah sakit sejak tadi.
Kuketuk kaca jendela dan senyuman itu tampak jelas. Kak Zico sedang meledekku! Kunci pintu dibuka dan aku segera masuk. Kutaruh kepala ke sandaran kursi, dan memejamkan mata. "Kepalaku sakit, Kak."Ya, seperti biasa, sedetik setelah mengucapkan itu aku menyesal. Hei, aku bukan manusia yang terbuka dan suka mengobrol dengan orang baru.
Kak Zico melepas seatbelt-nya dan condong ke arahku. "Maaf, ya?" ucapnya yang kuangguki, dia mulai berusaha melepaskan sisir dari rambutku, deru napasnya tenang dan halus terasa di kening. Kenapa aku jadi gugup begini?Setelah selesai berkutat dengan rambutku, Kak Zico menekan gas, membuat benda beroda empat tersebut bergerak. Dini hari memang waktu yang tepat untuk berkendara. Jalanan lumayan lengang dan sepi, yang ada hanya beberapa mobil melaju buru-buru, entah ingin segera pulang dari lembur atau justru berangkat pagi ke tempat kerja.
Lampu tepi jalan menjadi sumber pencahayaan utama karena bulan tak bersinar. Gedung menjulang terlihat mati tanpa kegiatan di dalamnya. Aku memeluk diri sendiri ketika hawa cukup menggigit kulit, padahal AC mobil tidak dinyalakan. Terlalu sibuk mengusap lengan atas sampai baru sadar kalau mobil telah berhenti. Kak Zico mengetuk kaca mobil di sebelahku, menyuruh keluar dengan senyum lebar.
Setelah menutup pintu mobil, aku menatap warung tenda berwarna hijau muda. Ya ampun, masih pukul setengah tiga pagi dan sudah ada yang berjualan? Aku tak tahu apa warung ini memang buka 24 jam atau pagi sekali bersiap.
Aku duduk di sebelah Kak Zico yang telah tersenyum manis nangkring pada kursi plastik. “Udah saya pesankan. Kita tunggu.”
Tangan keriput penjual soto mi begitu cekatan ke sana-sini, mulai meracik menu. Aku tidak melihat apa saja yang dimasukkannya dalam mangkuk karena tertutup tubuh ringkih kakek itu. Yang jelas, aroma sedap menguar, membangunkan cacing di perutku.
Kakek tadi membawa dua mangkuk dengan nampan. Kak Zico membantu memindahkan makanan ke meja. “Makasih, Ki.”Si kakek tersenyum lebar. “Sebentar, Nduk, tehnya belum siap.”
“Air putih hangat saja, Ki, lagi dingin juga kebetulan,” kata Kak Zico sopan.
Aku sibuk mengagumi makanan di hadapanku. Asap mengepul dengan kuah melimpah memenuhi mangkuk. Segumpal mi bersanding dengan suwiran ayam beserta daun bawang.Baru kusadari bahwa belakangan ini menu makanku berubah drastis. Semula hanya puas makan dua kali sehari—jika punya uang lebih—sekarang bisa mengisi perut pada dini hari. Bukannya tidak bersyukur, aku cuma terkejut dengan perubahan ini.
Si kakek kembali dengan dua gelas besar air putih hangat. Setelah mengucap terima kasih sekali lagi, kami mulai makan. Woah, rasa soto mi ini benar-benar enak! Atau aku saja yang norak karena tidak pernah makan, ya? Hihihi, aku terkikik sendiri di tempat.Acara sarapan kepagian yang berkedok menemani Kak Zico selesai sudah. Tidak banyak yang terjadi. Dia mengantarku pulang sampai depan indekos, lalu aku putuskan langsung menimba air di sumur.
Dengan penuh semangat karena tumben sekali pagi-pagi sudah kenyang, kutarik tali pada ember berisi air. Kemudian, benda cair tersebut berpindah ke ember lebih besar yang ada di sebelah kakiku.
***
AN:
Terima kasih telah selesai membaca bagian 18.
Regard:
maylinss_
jurnalharapan
KAMU SEDANG MEMBACA
POSTERIOR (Completed)
Romance"Jutaan jam berteman sepi, hanya karena dua puluh enam hari?" *** Kata orang, masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran. Cerita yang mengisahkan hal tersebut sudah terlalu banyak di dunia. Namun, ending masing-masing berbeda, 'kan? Terlepas pengertia...