#4 AC

15 2 0
                                    

Aksa dan Kia berjalan beriringan dari rooftop cafe. Mereka saling melontarkan guyonan yang membuat tawa semakin terlihat. Rupanya, pertemuan kali ini cukup banyak meruntuhkan rasa rindu setelah sekian lama tak bersua.

"Makasih udah nemenin aku lagi, Mas. Kapan-kapan kita ketemuan lagi, ya," ucap Kia.

"Kia!" seru seorang laki-laki menghampiri Kia.

"Bang Arta udah lama, ya, nungguin aku. Maafin Kia, yah. Keasyikan ngobrol sama temen lama soalnya," terang Kia sambil mengarahkan pandangan pada Aksa.

Bukannya membalas ucapan Kia, Bang Arta justru menatap Aksa cukup dalam. Matanya seolah penuh selidik mengamati Aksa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sementara Bang Arta mengamatinya, Aksa juga bertanya-tanya dalam hatinya, berusaha mengartikan tatapan horror Bang Arta.

"Owner Pitagoras, kan?" tanya Bang Arta.

"I-iya, Bang," jawab Aksa gugup.

"Cowok, kok, lemah. Ditatap sebentar aja langsung gugup. Tatapan gue terlalu mencekam, kah?"

"Bang Arta, sih, kebiasaan. Ketemu orang, tuh, yang ramah dikit nggak bisa, ya. Pake pasang tatapan horor ke Mas Aksa. Ya jelas takutlah," tutur Kia.

"Gue cuma mau bilang makasih udah bikin tempat sekece ini dan makasih juga udah ngasih izin reunian di sini."

"Hehe, iya, Bang. Lagian juga bukan saya yang ngasih izin. Urusan perizinan udah jadi tanggung jawab manajer cafe. Saya juga makasih, Abang udah dateng ke sini."

"Santai aja kali, Bro."

Setelah perbincangan singkat itu, Bang Arta dan Kia pun meninggalkan cafe. Mereka menyisakan kesan menyenangkan bagi Aksa. Terlebih lagi pada Kia. Aksa masih menyukai segala hal tentang Kia, terutama bagaimana cara Kia mendengarkan orang lain berbicara. Kia terlihat seperti orang yang betul-betul pandai menghargai orang lain.

Aksa kembali memikirkan sedikit penggalan dari obrolannya dengan Kia tadi.

"Kia, tuh, selalu diajarin orang tua buat berbuat baik sama orang lain. Nggak peduli dia siapa, orang yang seperti apa, selama dia masih makhluk Allah ya Kia berhak baik sama dia. Karena kita nggak pernah tahu, lewat perantara siapa Allah hadirkan pertolongan atau doa siapa yang akan Allah kabulkan. Makanya, yang penting kita harus selalu baik ke orang lain. Insyaallah, mereka juga bakalan baik ke kita. Sederhana, sih, sebenernya. Tapi emang susah dipraktekkin. Namanya manusia pasti punya ego, kan, Mas," terang Kia panjang lebar.

"Kamu nggak pernah berubah, ya, Ki. Selalu bikin aku tertegun dengan perkataan kamu," timpal Aksa.

"Hehe. Alhamdulillah, Mas, Kia dikelilingi orang-orang baik yang nggak pernah capek ngingetin Kia dan ngajarin Kia soal kehidupan."

Begitulah cara Kia menghipnotis Aksa. Tak harus dengan make up menor ataupun baju mewah, tapi cukup dengan sikap serta tutur kata Kia. Kia tak pernah mau dipuji sendiri. Sifat rendah hatinya dengan menyebut nama orang lain seakan menggambarkan betapa bersyukurnya dia dikelilingi orang-orang baik.

Apakah aku betul-betul pantas untuk bidadari sebaik kamu, Ki, batin Aksa.

Sementara itu, meninggalkan Aksa yang masih terus tersenyum setelah pertemuan ini, Kia justru mendapat teguran singkat dari Bang Arta.

"Berteman, sih, nggak masalah. Tapi kamu juga harus tahu batasan, ya. Abang berhak negur kamu kalau kamu udah kelewatan," ujar Bang Arta tegas.

"Iya, Bang. Kia juga udah gede kali. Kia tahu apa yang harus Kia lakukan."

"Baguslah. Besok Abang harus pergi lagi. Kamu berangkat ke pameran dianter Candra, ya." Pinta Bang Arta yang cukup mengejutkan Kia.

"Abang nggak masalah kalau Kia cuma pergi berdua sama Mas Candra? Biasanya juga paling posesif?"

"Kan ada Sabina. Ajakin dia, lah."

"Ih, sampai kapan, sih, Bang Arta bisa ngerti. Kia, tuh, nggak deket sama Sabina. Ya... Kita cuma beda setahun, sih, tapi emang Sabina nggak pernah bisa sefrekuensi, kok, sama Kia. Lagian Sabina juga pasti lebih milih hang out sama temen-temennya," gerutu Kia sambil memasang wajah cemberutnya.

"Biar Abang yang bilang sama Candra buat ajakin Sabina."

"Tapi, Bang....."

"Udah, nggak usah pake tapi. Mau sama siapa ke pameran besok kalau bukan sama Candra. Bang Dewa? Ogah, lah, dia. Ngarep amat Bang Dewa mau nganterin kamu."

"Kia coba ngomong, ah, nanti ke Bang Dewa."

"Ya udah sana. Cobain aja. Pasti nggak bakal mau dia," seru Bang Arta ketus.

Keheningan pun menemani sisa perjalanan mereka. Kia tak pernah suka memang jika membahas tentang Bang Dewa. Ujung-ujungnya hanya akan menimbulkan perdebatan yang tak pernah selesai. Baik Bang Arta maupun Bang Dewa tak pernah ada yang mau mengalah saat ini. Ego mereka masih sama-sama kuat.

Kalau boleh jujur, Kia merindukan semuanya. Kia rindu momen-momen yang penuh kehangatan bersama kedua kakaknya dan kedua orang tuanya juga. Kia bukanlah anak dari keluarga broken home. Keluarganya masih baik-baik saja hingga kini. Namun, ayah dan ibunya memutuskan menepi sejenak ke luar kota untuk menyembuhkan hati dan pikiran mereka. Kasus yang menimpa Bang Dewa saat itu, membuat semua hal di keluarganya menjadi terlihat sangat jauh. Kasus ini pula yang berhasil membuat hubungan Bang Arta dan Bang Dewa tak pernah lagi harmonis. Meskipun Bang Dewa sudah menjelaskan berjuta kali bahwa dia tak pernah melakukan seperti apa yang dituduhkan, tetapi kepercayaan ayah, ibu, serta Bang Arta sudah telanjur terkikis. Mereka perlu waktu cukup lama untuk mengembalikan kepercayaan itu.

Sesampainya di rumah, Bang Arta sempat menghentikan langkah Kia. Ia merasa bersalah karena sudah berkata ketus kepada Kia.

"Maaf udah jutek tadi. Jangan marah, ya," tutur Bang Arta begitu halus.

"Iya, Kia orang yang pemaaf, kok. Tapi Kia bakal tetep berusaha minta Bang Dewa nganterin besok. Jangan hubungin Mas Candra dulu," rengek Kia.

"Iya, deh. Biar kamu rasain sensasinya merengek-rengek sama Beruang Kutub," ucap Bang Arta yang berhasil membuat bibir Kia monyong beberapa senti.

Mereka berdua tak tahu jika ada sepasang mata yang memandang mereka lekat. Orang itu juga rindu akan tawa serta gurau yang sering mereka ukir bersama. Namun, dia juga tak punya daya apa-apa. Mulutnya sudah lelah, raganya juga sudah letih. Semua hanya berujung sia-sia. Percuma. Dia hanya bisa menunggu sampai Tuhan yang membuktikan kesalahpahaman itu. Hanya pada-Nya kebenaran itu akan menjadi nyata.

***
Candra? Siapa dia? Kenapa bawa-bawa nama Sabina? Stay tune😊

Keep smile and keep spirit!

Salam sayang,
Andaru

Aksara CendekiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang