"Kalau gue bilang nggak mau, ya, nggak mau!"
"Apa susahnya, sih, memaafkan orang lain?"
"Lo pikir gampang jadi gue? Lo pikir gampang nyimpen semuanya sendiri?"
"Salah lo sendiri nggak mau cerita! Selalu ada kesempatan, kan, buat cerita."
Tok... Tok... Tok...
"Masuk!"
"Kecilin dikit napa! Nyampe ruang tamu suara tv lo. Lagian tumben-tumbenan nonton tv."
"Nggak gue tonton juga dari tadi."
"Ketus amat. Tapi bener lo."
Aksa menoleh kepada Saka sambil mengerutkan keningnya.
"Iya. Cerita kalo ada masalah, jangan dipendam sendiri. Related, tuh, filmnya sama kehidupan lo saat ini."
"Nggak jelas lo."
"Okedeh. Nggak akan gue bahas. Oh, ya, Sa, ditungguin mama sama papa di bawah. Disuruh sarapan, noh."
"Ya."
Aksa menghela napas setelah menarik simpul tali sepatunya. Ia memikirkan sejenak tentang semua yang terjadi kemarin dan pagi ini. Jari-jarinya saling ditautkan tanda hatinya sedang gelisah tak karuan. Bayang-bayang kasus itu kembali menghantuinya belakangan ini. Semalam pun, ia hanya membuka dan menutup kembali laptopnya tanpa melakukan apapun. Semakin Aksa bertanya-tanya, semakin kuat pula kasus itu membayangi setiap aktivitasnya.
"Huftt.. Mungkin sudah saatnya gue berusaha berdamai dengan semuanya," gumamnya.
Aksa berjalan menuju meja makan yang disambut senyuman seluruh anggota keluarga, termasuk ibunya yang baru dilihatnya pagi ini.
"Gimana kafemu, Sa?" Tanya Bu Dira-ibu Aksa- di sela-sela sarapan.
"Lancar, Ma, alhamdulillah. Omset juga lagi naik terus, nih," jawab Aksa mantap.
"Syukurlah. Mama inget, deh, kalau kamu sama Saka punya rencana untuk kerja sama. Terapetik with Pitagoras, gitu. Biar kalian nggak berantem terus."
"Udah pernah jalan, Ma. Tapi, ya, gitu. Susah. Pitagoras, kan, juga punya brand kopinya sendiri. Iya, kan, Sa?" Saka bertanya dengan tatapan agak kesal.
Aksa menatap mama dan papanya yang kini seakan mempertanyakan sesuatu.
"Nggak, Ma, Pa. Aku nggak egois, kok. Ya emang saat itu nggak terkonsep dengan baik juga. Namanya juga masih sama-sama baru merintis, jadi ya banyak salah paham," jelas Aksa yang mendapat tatapan kepuasan dari Pak Indra.
Berbeda dengan Pak Indra yang langsung bungkam karena puas, Bu Dira yang memang selalu lebih dominan terhadap Saka justru kembali membalas penjelasan Aksa.
"Kamu, sih, nggak pernah bisa ngilangin sifat kekanak-kanakan kamu. Mama, sih, yakin kalau Saka pasti udah memikirkan semuanya dengan matang. Cuma kamunya aja yang susah diajak kerja sama. Ya, kan?" Bu Dira memandang Aksa agak sinis yang kali ini tak digubris Aksa. "Mama bertahun-tahun, loh, membesarkan kamu. Mustahil kalau mama nggak ngerti gimana sifat kamu," sambungnya.
"Lo minta gue buat apa, Sa? Ngejelasin ke mama? Atau lainnya?" Tanya Saka yang cukup mengherankan. Ia memang tak pernah mau dianggap spesial. Dari dulu Saka selalu menolak perlakuan spesial dari mamanya karena ia memang tidak pernah setuju dengan sikap seperti itu. Saka lebih sering memilih satu kubu dengan Aksa untuk memojokkan mamanya.
"Nggak usah. Ya mungkin memang gue salah," jawab Aksa ketus. Ia segera menyelesaikan sarapannya. "Aku berangkat, ya. Oh, ya, Pa, salam buat Om Hasyim. Bilangin kapan-kapan suruh mampir ke Pitagoras lagi. Gue berangkat, Ka. Mobil gue tinggal kalau mau lo pake. Berangkat dulu, Ma," ucap Aksa sembari sibuk membereskan barang-barangnya. Ia juga menciumi tangan kedua orang tuanya, meski hatinya sedikit sakit mendengar ucapan mamanya.
Begitulah keluarga mereka. Tak sesempurna yang selama ini orang lihat. Rumah mewah, harta berlimpah, dengan senyum yang selalu mereka tebarkan berhasil membuat citra positif di tetangga sekitar. Tanpa orang-orang tahu bahwa perdebatan-perdebatan seperti ini sering terjadi, bahkan beberapa kali menimbulkan masalah yang cukup sukses membuat suasana rumah kacau. Namun, mereka memang memilih untuk menyembunyikannya. Toh, tak baik juga mengumbar-umbar aib keluarga pada orang lain. Mereka tak mau kalau sampai orang lain ikut campur dan malah menimbulkan masalah baru.
Aksa tak pernah ambil pusing dengan keadaan itu. Mentalnya sudah terlalu kuat menerima semuanya. Dia juga masih punya papa yang selalu adil dan tak pernah pilih kasih pada kedua anaknya.
Ciiiitttt....
Tiba-tiba seorang perempuan melintas di depan Aksa. Ia kaget bukan main. Perempuan itu pun terlihat sama kagetnya.
"Ya ampun, Mbak, maaf, ya, saya ngelamun tadi," ucap Aksa sesaat setelah ia bergegas turun dari motor.
"Iya, Mas, nggak apa-apa, kok. Saya juga nggak lihat-lihat jalan," jawab perempuan itu sembari mendongakkan kepala.
"Kia?!"
"Mas Aksa?!"Mereka terkejut bersamaan. Dunia terbukti sangat sempit kala itu.
"Ya ampun, Mas Aksa. Kenapa ngelamun, sih, Mas? Mikirin apa coba?" Cecar Kia membuat Aksa sedikit terkejut.
"Pagi ini lo lebih cerewet. Mau kemana?" Tanya Aksa yang berusaha mengalihkan pertanyaan Kia.
"Mau ke kampus sebenernya, nungguin temen nggak dateng-dateng."
"Bareng gue aja, Yuk!"
"Nggak, deh, udah janji soalnya sama temen. Nggak enak kalau tiba-tiba aku cancel."
"Ya udah, tunggu di sana aja. Gue temenin, deh, biar lo nggak kaya orang ilang." Aksa menunjuk resto di seberang jalan yang masih sepi pelanggan.
Kia pun menyetujui ajakan Aksa.
Mereka duduk di outdoor resto tanpa memesan apapun.
Kia melihat raut lelah pada wajah Aksa. Ia juga merasakan Aksa sedikit kurang baik keadaannya.
"Mmm... Mas Aksa nggak apa-apa, kan?" Tanya Kia ragu takut menyinggung perasaan Aksa.
"Ha? Maksudnya?"
"Mas Aksa kelihatan capek, mungkin butuh istirahat."
"Iya, semalem kurang tidur, sih, emang."
"Jaga kesehatan aja, sih, Mas. Soalnya lagi musim hujan juga."
"Kenapa lo tiba-tiba perhatian sama gue?" Tanya Aksa dengan senyum menggoda.
"Eh! Nggak, kok. Ya, Kia kasihan aja kalau Mas Aksa sampai kecapekan. Dengan kesuksesan Pitagoras, pasti orang-orang di baliknya juga kerja keras banget, kan?"
"Yups, betul banget. Tapi makasih, loh, perhatiannya. Suasana hati gue sedikit membaik sekarang. Mungkin gitu kali, ya, rasanya punya pasangan. Bisa berbagi keluh kesah dan saling menenangkan." Aksa mengucapkannya sambil menatap Kia lekat. Seakan mengungkapkan sesuatu secara tersirat.
Sementara itu, Kia hanya tertunduk malu dibuatnya. Ia tahu maksud Aksa apa, tetapi Kia juga tidak bisa melawan keadaan.
Tanpa mereka tahu, ada seseorang yang tengah memperhatikan mereka dari dalam mobilnya. Orang itu terlihat sangat kesal melihat kedekatan Aksa dan Kia, meskipun sebenarnya ada banyak orang di sekitar sana. Ia pun bergegas mengetikkan sesuatu pada handphonenya dan mengirimnya pada seseorang yang sangat diseganinya.
Beralih dari orang itu yang masih mulai beranjak pergi, Kia sudah dijemput temannya baru saja. Meninggalkan Aksa yang masih terus memandangi punggung Kia. Sesaat, Aksa terlihat memasang senyum manisnya sebelum akhirnya memilih pergi dengan muka masamnya lagi.
Lo seakan menolak, Ki, batin Aksa yang kemudian langsung melajukan motornya kencang.
***
Akankah kisah Kia dan Aksa berjalan mulus? Tergantung mood author🤭Keep smile and keep spirit
Salam sayang,
Andaru
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Cendekia
General Fiction"Kamu, tuh, kaya pangeran dari negeri antah-berantah. Aku nggak tahu kamu siapa, tapi tiba-tiba kamu hadir saat aku terluka. Tuhan itu emang baik, ya." -Cendekia- . . . "Jodoh itu emang nggak perlu dicari. Udah jauh-jauh keliling dunia, eh ujung-uju...