#3 AC

17 2 0
                                    

Pesawat yang seharusnya mendarat pukul 08.00 ternyata harus mengubah jam pendaratan 2 jam lebih lambat. Hal ini membuat Faidan yang menjemput Aksa dan Saka menjadi sangat kesal.

"Kapan-kapan suruh supir lo aja, lah, yang jemput," gerutu Faidan.

"Kita, kan, juga nggak maksa lo buat jemput, Dan. Lo aja yang cari muka ke kita. Iya, kan?" Tanya Saka.

"Iyain aja, deh. Oh, ya, denger-denger kalian berdua masih jomlo, ya? Seriously? Belum punya pacar? Udah jauh-jauh ke luar negeri, eh, pulang-pulang masih sendiri aja. Tuh status belum mau diubah, kah?" Cecar Faidan membalas pertanyaan Saka.

"Ka, cari taksi aja, yuk. Males disupirin sama orang carmuk + nyinyir kaya dia," timpal Aksa.

"Nggak bisa gitu, dong. Udah capek nunggu berjam-jam, nih, masa ditinggalin gitu aja. Kan kasihan guenya," ucap Faidan memelas.

Aksa dan Saka pun akhirnya menuruti Faidan dengan terpaksa. Rupanya mereka masih punya rasa kasihan juga pada Faidan. Namun, Faidan tetaplah Faidan yang suka mengoceh. Di dalam mobil, tak henti-hentinya Faidan mencibir Aksa dan Saka yang belum kunjung punya pacar. Ia bahkan juga dengan bangga memamerkan pacarnya yang berprofesi sebagai pramugari. Namun, Aksa dan Saka memilih untuk mencari kesibukan lain dibanding mendengarkan ocehan Faidan.

"Pacar gue, tuh, perhatian banget sama gue. Kalo nggak kerja, hampir tiap hari gue dibawain makanan sama dia. Gilaa, gue bersyukur banget punya dia. Gue nggak tahu..."

Belum selesai Faidan bicara, Aksa yang sepertinya sudah mulai muak memutuskan untuk menyela, "Faidan!" Teriaknya.

"Ya Allah," seru Faidan sambil mengelus dada, "Kaget, Aksaa. Ngapain, sih, ngomong juga belum kelar udah dipotong-potong," imbuhnya.

"Gue cuma mau bilang, berhenti di cafe ya. Gue mau lihat kerjanya anak-anak," kata Aksa dengan santainya.

"Kaya nggak ada rasa bersalahnya, nih, anak habis bikin orang jantungan," gerutu Faidan yang sama sekali tak digubris oleh Aksa.

Pitagoras. Cafe milik Aksa yang sudah 5 tahun lebih berdiri ini sudah lama tak dijenguk olehnya. Jadwal kuliah yang cukup padat membuat Aksa tak punya banyak waktu untuk sekadar mendengar keluhan customernya.

"Gue langsung pulang aja, ya, Sa," tutur Saka.

"Yoi. Hati-hati, Dan, bawa mobilnya."

"Iyaaa."

Aksa merasakan rasa rindu yang cukup kuat kali ini. Dia rindu pada segala hal tentang cafenya. Dulu, cafe ini bisa dibilang sangat sederhana. Hanya dengan ukuran minimalis dan menu yang belum beragam. Begitupun dengan konsep ruangannya yang tidak berbeda dari cafe-cafe lain. Seiring berjalannya waktu, Aksa akhirnya lebih serius mengurus cafenya. Dia rela menggocek kantong lebih dalam untuk memperbarui cafenya. Ia membeli gedung baru yang kebetulan kosong di sebelah cafenya. Cafenya juga lebih berkonsep sekarang. Ditambah dengan live music yang menambah ketertarikan customer kepada Pitagoras.

"Mas Aksa! Mas Aksa, kan? Ya ampun! Kapan nyampe, Mas? Kok nggak ngabarin?" cecar Rania, manajer cafe.

"Kamu makin gemuk, ya, Ran," canda Aksa, "Alhamdulillah, saya barusan nyampe. Males juga ngabarin kamu, nggak penting kok," sambungnya.

"Mas Aksa udah berubah ternyata. Cuek sekarang sama saya. Dulu padahal tiap pagi ngingetin saya sarapan," timpal Rania.

"Dih, jangan mengada-ngada kamu. Oh, ya, sebelah sana kok rame. Ada apa, sih?"

"Ada yang reunian, Mas. Kebetulan emang udah pesen tempat dari 2 hari yang lalu."

"Oh, okedeh. Nggak masalah, sih, kalau udah izin. Saya mau lanjut jalan-jalan dulu, ya, sambil cuci mata."

"Iya, silakan Pak Bos Aksa."

Aksa kembali berkeliling di cafenya. Ia juga mengunjungi dapur, mengecek stok barang, hingga bersenda gurau sejenak dengan chef-chef hebat di Pitagoras. Aksa pun melanjutkan patrolinya ke rooftop cafe. Ia menatap para pelanggan yang tengah menikmati hidangan sembari melakukan kesibukannya masing-masing. Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang gadis yang duduk di sudut rooftop. Tangannya asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Gadis itu hanya ditemani segelas matcha latte, dua potong sandwich, sebuah buku tebal, dan kursi kosong di depannya. Entah mengapa, seperti sebuah magnet, Aksa tertarik untuk menghampiri gadis tersebut. Bukan dengan alasan klise karena parasnya tentunya.

"Excuse me," sapa Aksa.

"Ya?" Jawab gadis itu singkat.

"Kalau emang udah lupa, sih, nggak masalah. Gue juga nggak sakit hati, kok. Tapi, sepertinya kita emang harus kenalan lagi," terang Aksa sambil duduk di kursi kosong di depan gadis itu.

Gadis itu terdiam sejenak. Mengamati Aksa dan tertawa kecil tak lama setelahnya.

"Mas Aksa nggak berubah. Malah tambah over confident sekarang, ya," canda gadis itu diakhiri tawa.

Aksa hanya mengernyitkan dahi. Ia tak menyangka kalau Kia masih mengenalinya.

"Mana mungkin aku lupa. Seorang pria yang sok kenal sama orang asing, menebak-nebak status kewarganegaraannya saat itu, lalu ngasih gantungan kunci merpati sebagai tanda persahabatan, terus akhirnya menghilang tanpa kabar. Laki-laki paling berkesan selama aku di Kanada. Ya, kan? Bahkan aku masih inget pakaiannya Mas Aksa di stasiun waktu itu, loh. Turtle neck navy dengan jas kotak-kotak. Hahaha," jelas Kia.

"Luar biasa ingatan wanita ini. Masih kamu simpen merpatinya?"

"Dia nggak pernah mau pergi dari dompetku, Mas. Kaya punya magnet."

Ya, Cendekia Btari Danendra. Orang yang sangat Aksa kenal. Mereka pernah bertekad untuk sama-sama bertemu kembali ketika tiba di Indonesia nanti. Namun, nyatanya Aksa memutuskan komunikasi lebih cepat secara mendadak. Nomor kontaknya hilang saat olahraga dulu dan Kia tidak tahu kontak yang lain. Alhasil, mereka tak pernah bertukar sapa lagi sejak itu.

"Mas Aksa masih pengin ketemu mama papa Kia?"

Sesaat, mulut Aksa membisu. Otaknya kembali mengingat kata-kata itu. Akankah keberaniannya masih ada? Akankah tekadnya masih berlaku?

***
Baru ketemu lagi, Kia udah bikin Aksa keringat dingin, nih. Jawaban apa, ya, yang bakalan Aksa kasih??

Keep smile and keep spirit!

Salam sayang,
Andaru

Aksara CendekiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang