#1 AC

38 4 0
                                    

Sepetak rumah yang kini tak lagi bertuan itu seolah melambai pada Kia. Dia tak tahu dimana penghuninya. Seperti hantu, mereka menghilang begitu saja. Mungkin begitulah ritme kehidupan, pikir Kia. Seseorang bisa datang tanpa permisi dan pergi tanpa mengucap pamit. Sesakit itu memang rasanya ditinggalkan.

"Udahlah, Ki, dia aja nggak mikirin kamu, kok. Masa lalu, tuh, biarlah jadi sejarah. Kalo dia pergi baik-baik, nggak masalah. Ini udah tanpa pamit, tanpa ngabarin, tanpa ngasih tahu perginya kemana. Ilang gitu aja. Kesel, kan, gue jadinya," tutur Bang Arta.

"Btw, kok jadi Bang Arta yang kesel, sih. Kia aja biasa aja," ujar Kia.

"Cendekianya Abang yang tersayang, nggak usah mencoba bohong, deh. Mata kamu mengisyaratkan semuanya, tahu. Ngapain juga, kan, pake nengok-nengok ke rumah itu lagi. Ngeles mulu emang, nih bocah," canda Bang Arta.

Ya, memang begitulah Bang Arta. Posesif. Ia tak pernah mau orang lain menyakiti hati adiknya. Kejadian bertahun-tahun yang lalu masih membekas di hatinya. Kejadian yang membuatnya harus kehilangan adiknya yang paling kecil dan menyisakan ia serta Kia. Kini, Bang Arta menjadi lebih posesif kepada Kia, apalagi setelah Kia ditinggal kekasihnya. Setiap ada laki-laki yang mendekatinya atau bahkan bermaksud meminang Kia, mereka harus bisa melalui ujian berat dari Bang Arta. Begitulah cara Bang Arta menunjukkan kasih sayangnya kepada Kia.

"Abang hari ini nggak kerja?" Tanya Kia.

"Nggak, lah, capek Abang," jawab Bang Arta singkat.

"Dih, gampang banget bilangnya," sahut Kia.

"Lah emang bener, kok. Abang persembahkan hari ini spesial buat kamu. Kamu mau kemana aja, Abang siap nganter. Kamu mau beli apa aja, Abang siap bayarin. Gimana, gimana?" Ucap Bang Arta sambil menaik-naikkan alisnya.

"Pantesan lagi baik bener, sekarang tanggal muda kayaknya. Duit baru aja cair, cari perhatian, deh, ke adiknya. Habis ini juga paling tiba-tiba ngilang lagi nggak tahu kemana. Absurd banget emang abang yang satu ini," kata Kia sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Banyak yang mengira kalau Kia dan Bang Arta adalah sepasang kekasih. Padahal, usia mereka terpaut 5 tahun. Cukup jauh sebenarnya. Tapi memang patut diakui, wajah Bang Arta terlihat beberapa tahun lebih muda dari umurnya. Nyatanya kesehariannya yang harus terpapar sinar matahari dan bermandikan lumpur membuat kulitnya jauh lebih sehat dan lebih terlihat awet muda, meskipun warna kulitnya memang jauh lebih gelap sekarang. 

"Kamu habis ini lebih hati-hati, ya, kalo mau pacaran. Tapi kalo dipikir-pikir lebih baik langsung nikah aja lah. Pacaran cuma ngabisin waktu. Nggak ada gunanya juga. Boros pula. Udah gitu, kalo nggak sampe pelaminan sakit hatinya nggak karuan. Jagain jodoh orang, katanya. Ck... Kasian juga kamu, Ki," seru Bang Arta.

"Beneran, nih, ya, Bang. Lama-lama aku yang kesel sama Abang. Hati sama pikiran berusaha move on, tapi dari kemarin diledekin mulu. Gimana mau lupaaa??!!" Kesal Kia. Sayangnya, Bang Arta hanya membalasnya dengan kekehan.

Kia tak pernah berharap lebih akan kehidupannya. Orang tua yang sangat perhatian, kakak yang sangat menyayanginya, serta sahabat yang selalu ada untuknya. Baginya, itu semua adalah anugerah terindah dalam hidupnya. Ia menyadari bahwa masih banyak orang yang tak ingin dia terluka. Ia juga selalu berkata bahwa Tuhan itu baik dan Mahaadil kepada semua hamba-Nya. Betapa banyak nikmat yang terkadang tak pernah disadari, tapi selalu mengalir untuknya.

Ya, Kia belajar dari semua hal yang telah ia lewati. Tentang rasa sakit, kecewa, ataupun bahagia. Tentang setiap orang yang datang dengan ceritanya masing-masing. Ia berusaha melupakan masa lalu dan segala kenangannya. Kia tahu, akan ada hari yang lebih baik setelah semua pahit yang dilalui.

***
Kia emang deket banget sama Bang Arta, ya. Baru perkenalan, nih. Semoga suka dengan karakter Kia.

Keep smile and keep spirit!

Salam sayang,
Andaru

Aksara CendekiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang