"Jelaskan sama papa tentang kasus pemerkosaan itu!"
Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya masuk ke kamar Dewa.
"Papa bisa lebih halus, kan?"
"Papa nggak punya banyak waktu. Papa cuma minta kamu untuk jelasin semuanya. Tolong, kali ini Papa butuh kejelasan. Kita bisa kerja sama dulu, kan, untuk hari ini?"
"Apa papa akan benar-benar percaya sama Dewa?"
Pak Haris hanya diam menatap Dewa tanpa sepatah kata pun.
"Oke, Dewa jelasin sama papa. Tapi Dewa minta papa untuk tidak memotong perkataan Dewa sebelum Dewa selesai bicara."
Pak Haris mengangguk mengiyakan.
Sebelum bercerita, Dewa bangkit menuju MP3 Player miliknya. Ia memutar relaxing music karya composer Peder B. Helland yang selama ini sering menemani malam sepinya.
"Malam itu Dewa memang janjian sama Andin ke salah satu toko buku di pusat kota. Dia lagi ada masalah sama Arya, suaminya. Jadi, dia minta Dewa buat nemenin sambil curhat."
"Arya tahu kalau kamu mau ketemuan sama Andin?" Tanya Pak Haris.
"Nggak, Pa. Ya, Dewa akuin Dewa salah karena nggak bilang sama Arya. Tapi Dewa bisa pastikan kalau Arya juga nggak masalah Andin pergi sama Dewa. Toh, kita udah sahabatan lama. Papa masih mau denger ceritanya, nggak?"
"Terusin!"
"Dewa nggak bisa dateng on time saat itu karena temen Dewa kerampokan. Dewa harus nolongin dia dulu saat itu. Ketika sampai di toko buku tempat aku sama Andin janjian, Andin udah nangis dengan keadaan yang acak-acakan. Tempat itu sepiii banget. Toko bukunya ternyata tutup jadi nggak ada orang sama sekali di sana."
"Kenapa kamu nggak buru-buru telpon keluarganya Andin atau polisi?"
"Aku saat itu juga panik, Pa. Aku nggak tahu apa yang baru aja terjadi sama Andin. Andin juga pingsan nggak lama setelah aku dateng. Dan secara kebetulan banget, Aksa lewat daerah situ. Aksa itu adik iparnya Andin. Dia juga ikutan panik lihat kakak iparnya dengan keadaan seperti itu. Tanpa meminta penjelasan dari aku, Aksa tiba-tiba bawa Andin pergi dengan tatapan ketusnya ke aku."
"Bagaimana dengan CCTV? Harusnya CCTV sangat bisa membuktikan kalau kamu bersalah."
"Nggak ada CCTV di sana. Ada satu di perempatan deket situ, tapi ternyata rusak."
"Bagaimana dengan temen kamu? Temen yang kamu tolongin sehingga kamu dateng telat."
"Dia kecelakaan dua hari setelahnya dan meninggal di tempat."
"Lalu, dengan bukti-bukti di pengadilan? Ada buktinya, kan, saat itu yang menyatakan kalau kamu ada di TKP?"
"Aku nggak tahu siapa yang merekayasa ini semua, Pa. Motor aku seharusnya ada di bengkel karena rusak, tapi hari itu ada 'fotografer jalanan' yang melihat motorku di sana. Dengan bukti foto yang menguatkan kesaksiannya."
"Papa masih bingung dengan ini semua. Lalu, kenapa saat itu tiba-tiba Arya cabut laporannya?"
"Aku nggak tahu alasan pastinya. Yang aku tahu, Arya orang yang penuh pertimbangan. Dia pasti punya alasan kuat untuk hal ini. Tapi sampai sekarang, tidak ada orang yang tahu kebenarannya, Pa. Aku sempat mencurigai seseorang, tapi tidak ada bukti kuat yang menyatakan kalau dia bersalah."
"Dan sampai sekarang namamu masih di cap sebagai seorang laki-laki bajingan yang melecehkan harga diri seorang perempuan bersuami?"
"Itu yang berusaha aku bersihkan, Pa. Tidak ada seorangpun yang percaya setiap aku cerita. Papa, mama, Arta yang katanya berpendidikan tinggi, pun Aksa yang cerdas nggak pernah mau dengerin aku."
"Papa butuh sesuatu yang lebih kuat untuk membuktikan kamu tidak bersalah, Dewa. Asal kamu ketahui, Papa selalu berusaha percaya sama kamu. Tapi Papa butuh bukti itu untuk menguatkan kepercayaan ini. Papa membesarkan kamu, otomatis Papa tahu tabiat kamu. Kamu, Andin, dan Arya adalah teman baik. Dan Papa tahu kalau kamu tidak mungkin mengkhianati pertemanan itu."
"Aku memang pernah ada rasa sama Andin, Pa. Tapi ketika Andin memutuskan menikah sama Arya, aku mengikhlaskan semuanya. Toh, Andin berarti memang bukan jodohku. Arya juga lebih pantas untuk Andin. Aku berani bersumpah kalau aku tidak melakukan itu. Tapi sayangnya aku memang nggak punya bukti."
Pak Haris terdiam sejenak melihat Dewa yang ternyata sedang mengusap air matanya. Pergulatan batin dalam hatinya sudah mulai memudar. Ia mencoba memahami berbagai situasi yang telah terjadi. Ia juga berusaha menyusun kemungkinan-kemungkinan atas kasus tersebut.
Sejujurnya, dia merindukan Dewa. Ya, hatinya tak pernah benar-benar marah kepada Dewa. Ia hanya bingung dengan fakta yang ada maupun yang masih tersembunyi. Ia juga yakin bahwa keadaan yang sama ada pada istrinya. Bu Fatma, istrinya, adalah orang paling bijaksana yang ia kenal. Bu Fatma memang tidak pernah bercerita tentang bagaimana keadaan hatinya pada Dewa. Namun, Pak Haris yakin jika istrinya tidaklah sebenci itu pada Dewa.
"Papa minta maaf."
Mendengar perkataan ayahnya, Dewa sontak mendongak. Kalimat itu tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
"Papa minta maaf sudah tidak percaya sama kamu. Dulu Papa diselimuti emosi sesaat. Papa merasa hancur. Papa merasa tidak berhasil mendidik kamu hingga kamu melakukan hal yang tidak pernah terbayangkan. Hebatnya lagi, Papa munafik dengan diri sendiri. Papa tidak mau menerima kenyataan bahwa hati kecil papa menampik semua pemberitaan negatif itu," Pak Haris menghela napas sejenak, "Hari ini papa cuma ingin kamu tahu kalau papa sekarang ada di pihak kamu. Papa udah capek berkonflik dengan batin papa sendiri," imbuhnya.
"Dewa kaget, loh, papa bilang kaya gitu," ucapnya dengan kekehan.
"Papa serius, Bang."
Seketika hati Dewa luluh mendengarnya. Sudah lama Dewa tidak menerima panggilan itu.
"Makasih," ucap Dewa singkat.
"Sama-sama. Kita cari bareng-bareng faktanya, ya. Papa yakin kita bisa menemukan apa yang sebenarnya terjadi."
Pak Haris tersenyum dan menepuk pundak Dewa sebelum beranjak.
"Pa!" Panggil Dewa tiba-tiba.
"Iya?"
"Makasih."
"Iya, sama-sama."
Interaksi tersebut adalah interaksi yang sama-sama mereka rindukan. Dewa dan ayahnya yang pernah sangat dekat tiba-tiba terpisah oleh suatu kesalahpahaman. Bahkan, sudah sejak lama Dewa tak melihat senyum ayahnya. Sikap ketus dan cenderung tak acuhlah yang selalu menyelimuti mereka.
Malam ini, di bawah rembulan yang membulat sempurna, Dewa bisa merasakan senyum tulus dari seorang ayah. Ia kembali merasakan figur ayah dalam hidupnya setelah sekian lama terpendam.
Apa yang terjadi belakangan ini serta semangat baru dari sang ayah, seolah menumbuhkan kembali hasratnya untuk membersihkan namanya. Nama yang selama ini tercoreng karena ulah seorang yang biadab karena hanya berani bersembunyi di balik topeng orang lain.
"Ya, gue pasti nemuin lo."
***
Sweet banget chapter ini :)
Keep smile and keep spirit!
Salam sayang,
Andaru
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Cendekia
General Fiction"Kamu, tuh, kaya pangeran dari negeri antah-berantah. Aku nggak tahu kamu siapa, tapi tiba-tiba kamu hadir saat aku terluka. Tuhan itu emang baik, ya." -Cendekia- . . . "Jodoh itu emang nggak perlu dicari. Udah jauh-jauh keliling dunia, eh ujung-uju...