#6 AC

11 0 0
                                    

Sepucuk surat dan buket bunga hydrangea menyambut Kia di meja makan.

"Wleee, pede boros banget abang yang satu ini," ucap Kia setelah membaca kata imut di surat itu, walaupun Kia juga mengakui kalau abangnya imut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Wleee, pede boros banget abang yang satu ini," ucap Kia setelah membaca kata imut di surat itu, walaupun Kia juga mengakui kalau abangnya imut. Senyuman juga terukir manis di bibir Kia ketika ia menyadari bentuk surat yang manis itu. Bang Arta memang selalu romantis pada Kia, sampai ia rela repot demi menuliskan susunan kata di atas surat nan lucu.

"Astaghfirullah." Seru Kia sambil menepuk kening. "Aku lupa belum bilang kalau Bang Dewa mau nganterin. Mana Bang Arta udah telpon Mas Candra lagi. Gimana, ya?"

"Assalamu'alaikum. Spada, selamat pagi!" seru seseorang dari luar.

"Wa-"

"Wa'alaikumsalam." Belum selesai Kia menjawab, Bang Dewa yang baru saja keluar kamar menjawab salam dan langsung berjalan menuju pintu.

Kia bergegas menyusul Bang Dewa. Firasatnya mengatakan akan terjadi sesuatu setelah ini.

"Kia gue anter. Lo pulang aja!" ucap Bang Dewa. Matanya menatap tajam ke arah Candra. Yap, firasat Kia benar. Ternyata memang Candra yang datang.

"Tapi kata Bang Arta gue yang disuruh nganter," timpal Candra.

"Gue kakaknya. Gue lebih berhak nganterin Kia dan menjaga Kia." Sorot mata Bang Dewa yang tajam tak pernah lepas dari pandangan Candra.

"Gue, kan, calon suaminya Kia, Bang. Gue juga berhak menjaga Kia," bantah Candra. Kia tahu, Candra sudah melakukan kesalahan besar. Bang Dewa tidak pernah suka dibantah.

"Sejak kapan lo jadi calon suaminya Kia?  Kapan peresmiannya? Lamaran? Belum ada, kok. Cuma atas dasar perjanjian masa lalu antar orang tua dan lo langsung memutuskan kalau lo calon suaminya Kia? Cuma karena Arta baik sama lo dan lo langsung bisa bilang kalau lo diterima di keluarga ini? Dan cuma karena lo bisa hadir ketika Kia terluka, lo langsung merasa jadi pahlawan? Jangan mendahului takdir, Can. Gue lebih tahu tentang lo dan lo nggak bisa ngelak dari gue." Candra diam seribu bahasa. Tangannya mengepal tanda tak terima dengan ucapan Bang Dewa. Candra tahu, Bang Dewa memang orang yang paling menentang perjodohan ini.

"Bang, udah." Kata Kia lembut. Kia mengelus bahu Bang Dewa. Ia berusaha menenangkan Bang Dewa, meskipun perasaan khawatir dan takut di dadanya kini juga tengah bergejolak.

"Jangan mudah percaya sama pengecut kaya dia, Dek," bisik Bang Dewa pada Kia. "Apa perlu gue usir lo dua kali biar lo pergi dari sini? Masih inget jalan pulang, kan? Silakan, gerbang sudah terbuka lebar buat lo." Ucap Bang Dewa tegas.

Candra yang terlihat masih menahan amarah terpaksa pergi. Sementara itu, Bang Dewa juga terlihat masih berapi-api. Kia tak tahu, apa yang membuat Bang Dewa terlihat begitu membenci Candra.

Setelah kejadian menegangkan itu, Bang Dewa yang tak banyak basa-basi bergegas menyiapkan mobil dan mengajak Kia berangkat.

Selama di mobil pun, Kia tak berniat membuka obrolan dengan Bang Dewa. Sepertinya mood Bang Dewa sedang amburadul saat ini.

"Bang Dewa pulang aja. Kia nanti bisa pake ojek online, kok." Kata Kia sesampainya di lokasi pameran.

"Hm." Jawab Bang Dewa singkat.

Karena waktunya juga tak banyak, Kia memilih meninggalkan Bang Dewa. Sejujurnya, Kia ingin menenangkan Bang Dewa dulu. Ia tak mau Bang Dewa mengemudi dalam keadaan amarahnya yang masih memuncak. Ia takut terjadi sesuatu nantinya. Namun, ketakutan Kia melihat sorot mata Bang Dewa membuatnya terpaksa mengalahkan kepeduliannya sejenak. Insyaallah, Bang Dewa bisa mengatasi amarahnya sendiri.

Dari kejauhan, nampak sebuah mobil berjalan mendekati mobil Bang Dewa. Parkiran di sebelahnya memang masih luas, wajar saja jika ada mobil ingin parkir di sana. Terlihat seorang pemuda keluar dari mobil itu sembari memainkan rambutnya. Perawakannya yang tinggi dengan gaya berjalannya yang khas mengingatkan Bang Dewa akan seseorang. Seseorang yang mungkin tak akan pernah memaafkannya.

Tanpa menunggu lagi, Bang Dewa segera menyusul pemuda itu. Mungkin, kali ini pemuda itu bisa diajaknya bicara tentang kejadian masa lampau yang penuh kesalahpahaman itu.

"Aksa!" Panggil Bang Dewa. Sontak, pemuda itu berhenti. Ia rupanya masih cukup mengenali suara bariton milik Bang Dewa.

"Apa lo udah punya waktu buat bicara sama gue?" tanya Bang Dewa sambil menjajari posisi Aksa.

"Waktu? Gue nggak mau waktu gue terbuang percuma buat laki-laki kaya lo!" ucap Aksa lirih, tetapi penuh penekanan.

"Setidaknya lo harus tahu siapa pelaku sebenarnya, Sa. Jangan biarkan diri lo terkungkung dalam sebuah kebodohan."

"Kebodohan lo bilang? Setelah semua bukti yang terungkap, lo malah bilang kalau gue bodoh? Gila lo, Bang!"

"Ya ini, kebodohan yang gue maksud. Selama ini lo menutup mata tentang kasus ini. Bukti itu palsu. Dulu lo terlalu cepet balik ke Kanada dengan kasus yang belum selesai. Bahkan, kakak lo pun mengakui kalau bukti itu emang palsu. Dan sampai sekarang juga nggak ada yang tahu siapa pelaku aslinya. Gue kira lulusan terbaik universitas Kanada bisa berpikir cerdas dan teliti."

"Buktiin ke gue kalau emang bukti itu palsu! Tunjukin siapa pelaku aslinya!"

Aksa melenggang pergi menjauhi Bang Dewa, meninggalkan Bang Dewa yang mengacak rambutnya kasar.

Frustasi. Itulah yang dirasakannya sekarang. Bang Dewa tak tahu jika masalahnya masih serunyam ini. Ia pikir, Aksa sudah melupakan kejadian itu.

Bang Dewa tidak pernah menganggap Aksa tak dewasa. Ia hanya heran, mengapa orang secerdas Aksa bisa selalai itu menanggapi sebuah masalah. Dulu, Aksa yang paling gencar mengawal kasus ini. Namun, ketika kasus ini sampai ke pengadilan, ia malah pergi ke Kanada tanpa mengikuti perkembangan selanjutnya. Hingga akhirnya, Aksa masih memandang Bang Dewa sebagai laki-laki pengecut yang berhasil menjatuhkan harga dirinya.

"Ya Allah, jika memang kebenaran itu pantas untukku, aku mohon tunjukkanlah. Hanya Engkau sebaik-baik petunjuk dan penolong." Mata Bang Dewa terpejam sembari mendongak ke langit, meminta pengharapan Yang Mahakuasa. Tak ada satupun yang bisa menolongnya dari dendam Aksa, selain Allah. Sejujurnya, hatinya sudah lelah untuk terus berjuang mengembalikan nama baiknya. Namun, ia juga tak mau kalau namanya selalu diikuti dengan label laki-laki biadab yang selama ini disematkan Aksa.

***
Kisahnya Aksa dan Kia belum dimulai, tapi udah ada huru-hara, nih. Stay tune, ya.

Keep smile and keep spirit!

Salam sayang,
Andaru

Aksara CendekiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang