Motor Aksa berhenti tepat di tempat parkir sebuah toko buku. Matanya menatap tajam ke sisi sebuah kursi di depan toko tersebut. Seolah memorinya kembali terputar pada kejadian beberapa tahun lalu, saat kejadian buruk menimpa kakak iparnya."Jangan pernah sentuh kakak gue. Sekali lo menampakkan diri di hadapan gue, habis lo," teriak Aksa.
"Lo salah paham, Sa. Gue nggak ngapa-ngapain," bela Dewa.
"Gue nggak menerima pembelaan apapun. Kita tunggu hasilnya di pengadilan."
Aksa masih mengingat dengan jelas bagaimana matanya yang memerah serta otot di wajahnya yang mengencang. Tangannya mengepal siap memberikan bogem mentah pada laki-laki itu. Namun, keadaan Andin yang mengkhawatirkan membuat Aksa mengurungkan niatnya.
"Setiap dari kita adalah pendosa, kan. Tidak ada yang benar-benar suci di sini."
Tiba-tiba seorang pemuda menyadarkan lamunan Aksa. Badannya tidak lebih tinggi dari Aksa, tidak lebih gemuk juga darinya. Pakaiannya terlihat santai dengan kaus dan celana pendek serta potongan rambut yang sedikit berantakan.
"Jangan lo anggap kalau lo bisa menyingkirkan gue dari Kia. Camkan itu!" imbuh pemuda tersebut.
"Haha. Nggak jelas."
Aksa segera menyalakan motornya. Namun, tiba-tiba pemuda tersebut mematikan mesin motor Aksa.
"Lo mau gue bongkar kebusukan yang mana, Aksara Wisnu Mahendra?" Ancam pemuda tersebut.
"Jangan main-main sama gue, ya."
Aksa menyingkirkan tangan pemuda tersebut dengan kasar. Ia segera menyalakan motor dan melajukannya.
Kling... Kling...
Halo, Bang.
Pemuda tadi menerima telepon dari orang yang dia panggil 'Abang'.
Gimana?
Aman, Bang. Orangnya emang kelihatan emosian seperti dugaan lo.
Oke. Lo pantau dia terus. Satu lagi, gue cuma mau ngingetin supaya lo nggak terlalu deket sama Kia. Kia selamanya tetap jadi milik gue.
Cinta nggak bisa dipaksa, Bang. Gue nggak bisa cegah rasa yang tiba-tiba muncul. Kia emang ajaib, seperti yang lo ceritakan.
Candra, jangan sekali-kali lo mengkhianati gue. Lo masih jadi tahanan seumur hidup gue. Gue nggak akan segan-segan menghancurkan hidup lo dan orang-orang tersayang lo kalau lo berani nusuk gue dari belakang. Camkan itu!
Tut... Tut... Tut...
Obrolan menegangkan itu pun dihentikan oleh orang di seberang. Pemuda yang ternyata adalah Candra itu hanya tersenyum menyeringai. Ia puas mendengar kemarahan seseorang di sana. Ia tak mau terdiam lebih lama menjadi kacung yang selalu diinjak-injak harga dirinya.
***
Saka bergegas memasuki ruang meeting di lantai 8 sebuah hotel. Semua roda kepemimpinan kini telah kembali ke tangannya. Jadwal bertemu orang-orang penting bahkan sudah memenuhi buku agendanya.
Saka menyapa orang-orang di dalam ruangan itu. Ia juga mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan, meneliti seseorang yang masuk dalam daftar hitamnya. Sesaat ketika ia membaca daftar orang yang akan hadir, matanya terbelalak mendapati nama yang selama ini dibencinya. Orang yang selama ini dikenal sangat benci menghadiri pertemuan-pertemuan membosankan seperti ini, tiba-tiba berniat menampakkan batang hidungnya. Jarinya tak berhenti bertaut tanda gelisah. Gemetar kakinya juga terasa hingga ke seluruh tubuhnya.
Seorang laki-laki paruh baya dengan setelan jas rapi dan pantofel yang membungkus kakinya berjalan tegap memasuki ruangan. Matanya yang tajam bak elang serta rahang tegasnya menambah aura mencekam dari orang itu. Tak seorangpun tiada menaruh simpati hanya demi jabatan serta jaminan kontrak fantastis. Dia adalah orang yang selalu kebal hukum karena memiliki koneksi yang tak dapat ditembus oleh siapapun.
Arman Fandi Hermansyah.
Pengusaha licik yang berhasil menaklukkan para pejabat pemerintah dengan ribuan iming-iming harta. Bahkan, baginya nyawa seseorang tak jauh lebih penting dari hartanya. Bagaimana bisa seseorang yang ketahuan dengan jelas telah menghabisi nyawa puluhan rakyat jelata dibebaskan begitu saja, kecuali dengan koneksi yang luar biasa kuatnya. Namun, seolah manusia mudah termakan bujuk rayu setan, mereka juga mudah tergoda oleh mulut manis Arman dan antek-anteknya.
Setelah mengumpulkan keberanian, Saka pun turut menghampiri Arman untuk menyapanya. Namun, sikapnya bukanlah bentuk ramah-tamah seperti pengusaha lainnya.
"Selamat pagi, Pak Arman Fandi Hermansyah. Senang melihat Anda di sini," ujarnya formal.
"Wow, sudah lama kita tidak bertemu, Ajisaka Krisna Mahendra. Sepertinya Kanada sudah mulai tidak nyaman untukmu. Bukan begitu?" tanyanya.
"Rupanya kali ini insting Anda tidak bermain dengan sempurna. Sayangnya, saya sudah menganggap Kanada seperti rumah sendiri. Mungkin saya yang harus bertanya pada Anda. Begitu mudahnya, ya, seseorang yang sudah tega menghabisi nyawa orang lain demi harta bebas dari segala jerat hukum. Mungkin hukum di negeri ini memang sudah tebang pilih. Disusupi orang-orang licik saja tidak pernah terendus publik. Hebat sekali antek-antek Anda menutupi bangkai ini, " kata Saka sambil tersenyum kecut.
Arman yang mendengar ucapan Saka merasa sangat tersinggung. Ototnya menegang untuk sesaat hingga kemudian kembali tenang. Ia tersadar bahwa di tempat itu ada banyak orang yang selalu melihat citra positifnya. Kakinya melangkah mendekati Saka, bermaksud hendak mengintimidasi Saka.
"Lebih baik diam kalau tidak mau mati mengenaskan seperti orang-orang itu. Kamu harus ingat kalau kamu hanyalah tikus kecil bagi kucing yang suka bermain-main seperti saya," ucapnya berbisik sambil berlalu pergi meninggalkan Saka.
Saka hanya tersenyum mendengar semuanya. Ia berusaha tenang, meskipun hatinya juga takut akan ancaman-ancaman Arman. Bagaimanapun melawan orang yang licik akan jauh lebih merepotkan. Mereka selalu punya cara untuk berkilah dari tuduhan-tuduhan yang menyudutkan.
Acara tersebut berlangsung dengan suasana yang menyenangkan. Semua orang tampak tersenyum lebar mendengarkan 'cerita-cerita kosong' dari Arman, tapi tidak dengan Saka. Bibirnya berkali-kali tersenyum meremehkan presentasi Arman. Dalam hatinya, tak henti ia mencibir penjilat tersebut. Berkali-kali pula ia melirik jam tangan hitam miliknya, merasa bahwa waktu berjalan terlalu lambat. Saka ingin segera kabur dari tempat yang dipenuhi orang-orang gila harta itu.
Kesempatan untuk meninggalkan ruangan secepatnya pun seolah disambut baik oleh seseorang di seberang. Ponselnya berdenting menandakan ada pesan masuk. Seseorang yang selalu terlihat sibuk itu tiba-tiba mengajak Saka bertemu.
Mas Arya
Ketemuan di Terapetik jam 15.00. On time!Lah, bukannya Mas Arya masih di Kanada, batin Saka.
***
Sudah sekian lama tidak update, akhirnya aku update lagi. Hehe. Selamat membaca, yaa...Keep smile and keep spirit!
Salam sayang,
Andaru
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Cendekia
General Fiction"Kamu, tuh, kaya pangeran dari negeri antah-berantah. Aku nggak tahu kamu siapa, tapi tiba-tiba kamu hadir saat aku terluka. Tuhan itu emang baik, ya." -Cendekia- . . . "Jodoh itu emang nggak perlu dicari. Udah jauh-jauh keliling dunia, eh ujung-uju...