Part 21

501 43 2
                                    

Krip, Krip, Krip, Krip... Sayup-sayup Lila membuka matanya. "Mas Rendra!" terkesiap.

Ia tersenyum lega, tatkala menemukan sesosok yang ia cemaskan sedari malam sekarang sudah meringkuk menyembunyikan diri dibawah selimut ranjang.

Lila mendekati tubuh itu. Membelai halus rambut Rendra, "Syukurlah kamu udah pulang, Mas. Kamu dari mana aja semalam? aku sampai khawatir," mengecup sekilas kening suaminya. Kemudian bangun untuk membasuh badan dan menyiapkan pakaian kerja untuk Rendra.

***

Seminggu berlalu dengan pesat. Akan tetapi, itu bukan pengaruh bagi Rendra. Sedikit pun tak ada perubahan, ia tetap bersikap cuek dan dingin kepada Lila. Padahal berulang kali Lila telah mencoba membalasnya dengan sikap yang baik. Namun cara itu sama sekali tak mempan tuk membujuk Rendra.

Malam itu diruang tengah, Lila nampak sibuk berpikir dengan beberapa lembar kertas yang berada diatas meja. Ia sengaja mencatat semua barang-barang dan peralatan yang dibutuhkan selama ia berada di Singapura nanti. Ia mempersiapkan semua dari jauh-jauh hari, agar diharapkan tidak ada keperluan yang sampai tertinggal saat sudah sampai di negeri singa.

Turun dari ruang kerja, Rendra membanting bokong di sofa ruang tamu. "Huft..." menghembuskan nafas kasar, mengacak rambutnya gusar.

Lila yang menyadari akan kehadiran pun sekedar menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan aktivitas mencatatnya.

Dari ruang tamu, Rendra mengamati lekat setiap gerak-gerik Lila, tiba-tiba tergurat sesuatu dalam kepalanya. "Selama ini, aku sudah melakukan tanggung jawabku sebagai seorang suami. Menafkahi, melindungi, menyayangi, dan bersikap baik. Sekarang, aku juga mau mengambil hakku, La. Aku ingin memilikimu seutuhnya."

Rendra bangkit dari posisi duduknya, menghampiri dan menarik paksa tangan Lila. "Ayo!"

"Mas?" Lila yang tak tahu apa-apa hanya pasrah mengikuti perintah seraya meringis menahan sakit akibat genggaman tangan Rendra.

Dengan kasar Rendra membawa Lila naik ke lantai atas.

Ceklekk!.. ditutup dan dikuncinya pintu ruangan kamar tersebut. Rendra mendorong tubuh Lila hingga terpental ke atas ranjang. Dan selang tak sabar Rendra melepas t-shirt nya.

"Mas, Mas mau apa?" Diatas ranjang Lila memojokkan diri.

Tetapi dengan cekatan Rendra menindih tubuh gadis itu, menerkam tangan, dan dengan susah payah Rendra melucuti piyama Lila, melemparnya ke sembarang arah.

"Mas, jangan, Mas! Hiks... hiks..." terisak. "Mas, jangan!" Berkali-kali Lila memohon, namun tak sedikit pun digubris, Rendra tetap kekeh melancarkan tabiatnya.

Tak mampu Lila mengendalikan tindakan agresif Rendra. Sampai alhasil, mereka melakukan hubungan intim itu untuk yang pertama kalinya.

Satu jam Lila tak henti-henti menangis.

Rendra tak perduli jika kali ini ia harus bersikap egois. Yang sekarang ia pikir hanya ingin mengikat Lila dengan cara itu. Ia samar jika suatu saat disana nanti Lila akan pergi lebih jauh atau bahkan pergi meninggalkannya. Seperti kesan tak terlupakan yang pernah Mamanya beri pasca peristiwa kelam tempo lalu.

Diatas tempat tidur Lila telentang dengan selimut yang menutupi seluruh badannya. Sudah beberapa jam ia tersedu dengan keadaan seperti itu. Ia tak bisa menggerakkan tubuhnya, seperti terpaku dan mati rasa.

Sedangkan Rendra, ia nampak memeluk Lila puas, membenamkan wajah ditengkuk gadis itu. Rendra yang goyah kepayahan ingin sekali terlelap.

Akan tetapi, suara isakan Lila terus saja menyulitkannya setiap akan menenggelamkan pikiran.
"Kalau kamu tetap menangis dan membuatku terjaga semalaman ini. Bagaimana, kalau kita lanjutkan permainan beberapa ronde lagi, kamu mau?" bisiknya mengancam tepat ditelinga Lila.

Cepat-cepat Lila menggelengkan kepala.

"Kalau begitu, diam!" sambung Rendra geram. Kembali ia membenamkan wajah ke tengkuk Lila.

Lila pun memejamkan mata dan menggigit bibir, berusaha tuk menahan tangisannya.

***

Sinar mentari pagi menyusup dari balik gorden yang tergerai rapi. Membangunkan gadis yang masih terpulas dalam selimutnya.

Krip, Krip, Krip, Krip... Silau-silau netra Lila menangkap pencahayaan. Nampaknya ia bangun kesiangan pagi ini, dilirik juga Rendra yang sudah enyah dari ditempatnya. Tentu saja Rendra sudah bangun lebih awal dan pergi ke kantor sedari tadi.

Ada sedikit rasa bersalah di benak Lila, karena tak sempat membantu Rendra untuk bersiap-siap pergi ke kantor hari ini.

Lila kembali merasakan setiap guncangan yang meremuk pelukkan tubuhnya. Semalam Rendra berhasil menyalurkan hasrat beserta emosi dengan tanpa ampun. Sampai Lila benar-benar dibuat habis olehnya.

Perlahan Lila turun dari atas ranjang, tertenteng-tenteng menuju kamar mandi ruangan kamar.

Lila melihat pantulan dirinya di depan cermin. Kacau, banyak sekali tanda kepemilikan disekitar tubuh bagian atasnya.

Usai membasuh badan dengan air, Lila kembali menatap pantulan dirinya dimeja rias kamar. Mengeringkan rambut, dan ditutupi pula bekas kemerahan yang agak mengganggu penampilannya.

Sebenarnya, ia ingin sekali turun untuk melaksanakan sarapan pagi yang terlewat. Tapi dengan kondisinya yang masih seperti ini, ia jadi ragu untuk menuruti keinginannya.

Kruk... kruk..! Lila menggigit bibir. Tak kuat lagi menahan cacing yang memberontak di dalam perut, ia memilih untuk ke bawah saja mencari makanan.

Tertatih-tatih ia mendekati meja makan.

Diam-diam Bi Ami memperhatikannya.

"Bi, Mas Rendra udah sarapan?"

"Eh, udah, Non Lila. Tadi pagi sebelum berangkat ke kantor tuan Rendra sudah sarapan. Tinggal Non Lila yang belum sarapan."

"Oh... ya sudah, Bi." Lila duduk di kursi meja makan dan dengan lahap ia menyantap makanan.

Usai menghabiskan kudapan, Lila hendak bangkit dan melangkahkan kaki, namun ia tak nyaman jika Bi Ami kembali memperhatikannya seperti tadi. Dengan ragu ia berkata, "Em.., Bi bisa buatin teh anget buat Lila nggak?"

"Bisa, Non."

"Tolong ya, Bi. Nanti anterin ke kamar atas."

"Iya, Non. Non Lila tunggu saja diatas." Bi Ami menggangguk lalu pergi ke ruang dapur.

Lenyap dari pemusatan Lila, kesempatan itu pun dimanfaatkannya untuk lekas pergi dari ruang makan.

Tertatih ia meringis menahan sakit disela selangkangannya.

"Eh..!" Di atas meja ruang tengah matanya menemukan lembaran catatan keperluannya semalam. Lila mengambil kertas itu, mendudukkan diri di sofa, dan kembali aktif ia menulis dengan bolpoinnya.

Tak lama, Bi Ami datang melewati ruang tengah sembari membawa teh hangat ditangannya.

"Eh, Bi!" Lila menghadang. "Taruh sini aja tehnya!"

"Oh iya, Non."

"Makasih, Bi." Lila tersenyum.

Bi Ami mengangguk lalu bergegas kembali ke belakang.

***

Terimakasih bagi para pembaca yang sudah membaca part ini.

Maaf kalau ceritanya kurang bagus. Tapi kalau kalian suka, jangan lupa tinggalin vote dan komen ya! Jadi, kalau author tau kalian suka sama ceritanya. Nanti author bisa up sampai tamat.

#Salam untuk para readerku🌹🧡🧡

Rendra & Lila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang