7. Perkara Makan Siang

3.4K 819 69
                                    


"itu kan karena lo nggak ngasih dia kesempatan buat ngejelasin."


Tiap pagi, burung-burung di dekat rumah Mikana Indra Astyan selalu berkicau dengan ramai. Sama halnya dengan obrolan ibu-ibu yang membeli sayuran di gerobak Mang Hanif. Anak-anak berlarian menuju sekolah mereka sambil tertawa-tawa. Meski ramai dan gaduh, Mikana selalu suka kawasan perumahannya. Tentram, damai, dan kekeluargaan.

"Kemarin lo terlalu kasar sama Tata, tau."

Sampai Sakti mengeluarkan omelannya.

Mikana memindahkan tangannya ke sepatu kiri, lanjut menalikan sepatunya. "Terus gue harus lembut-lembut sama dia, gitu?"

"Ya nggak lembut juga," Sakti duduk bersila, namun melayang–tanpa kursi atau pijakan apa pun, sejajar dengan Mikana yang duduk di kursi teras. "Tapi nggak sekasar itu juga."

"Gue males sama dia, Sak. Tiba-tiba muncul. Terus kayak seolah nggak ada apa-apa. Nyebelin."

"Itu kan karena lo nggak ngasih dia kesempatan buat ngejelasin."

Mikana menatap sebal Sakti. Sebal, karena yang diucapkan laki-laki itu ada benarnya. Ketika Mikana hendak melemparkan argumen lagi, Mama muncul dari ambang pintu dengan setenteng tas kecil.

"Kotak makannya, Mikana!" serunya riang gembira.

Mata Mama menyapu ruangan. Mikana menunjuk ke arah Sakti, membuat mata Mama kini fokus pada laki-laki itu. Meski tidak bisa melihat Sakti, Mama berusaha keras untuk merasakan keberadaan sahabat Mikana.

"Nah, buat Sakti nggak pake telur, kok!" tambah Mama.

"Makasih, Tan," sahut Sakti.

"Katanya 'Makasih, Tan,'," timpal Mikana.

Mama tersenyum lebar. "Sama-sama, Sakti," Mama memberi tas tenteng itu pada Mikana, lalu pamit ke dalam rumah.

Setelah berhasil menalikan sepatunya dengan sempurna, Mikana berdiri dan berjalan ke luar rumah. Sakti menemani di belakang, masih dengan gaya duduk silanya.

"Pagi, Mik."

Mikana hampir mengumpat andai ia tidak melihat ibu-ibu berkumpul di dekat rumah Bu RT. Begitu menoleh ke asal suara, Tata sudah ada di sana. Kini dengan jaket denim dan celana jins robek-robek. Dikira dengan begitu, Tata bisa jadi keren, apa?

Tata sudah jarang muncul lagi sejak insiden kepala Mikana benjol. Kenapa sekarang muncul? Kalau begitu, tadi dia lewat pintu belakang saja.

"Wah, Tata dandan buat lo, tuh," celetuk Sakti.

Mikana mengerling kejam pada Sakti. "Diem, lo, Setan."

Sakti mengangkat tangan. Kalau Mikana sudah menyebutnya 'Setan', berat urusannya.

Tata yang menyadari bisikan Mikana ke seseorang, terdiam untuk sesaat. Lalu, dia berkata, "Yuk, gue anterin."

"Nggak usah."

Ibu-ibu yang sedang belanja sayuran, kini menoleh ke arah Mikana dan Tata. Mereka pun menonton drama remaja pagi ini. Disiarkan secara langsung!

"Ayolah, Mik. Entar lo terlambat."

"Bukan urusan lo."

"Gue nggak bakal ngajak ngobrol atau apa. Gue cuma mau nganterin lo, biar lo nggak terlambat."

"Nggak mau."

"Mik ...."

Seorang ibu-ibu menyahut. "Udah, Neng. Diterima aja tawaran si A'a. Kasian udah lama nunggu Neng."

TRS Universe (2) - I Wish We Never MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang