1. Calon Teman Manten

30.4K 1.2K 46
                                    

Bab 1

Nana mengerang sebal saat didorong masuk oleh ibunya ke dalam sebuah butik. Dia tidak mau ikut jadi teman manten sepupunya, sama sekali tidak mau. Saat sepupunya menikah nanti, dia mau tidur saja di rumah. Kalau tidak bisa tidur, mungkin menangis sedikit karena mempelai pria adalah mantan pacarnya saat dia SMA dulu, dan Nana belum move on. Namun, ibunya tidakk tahu soal itu. Ibunya cuma tahu Nana anak bandel yang senang di rumah, menulis sambil rebahan dan makan cemilan.

"Ibu akan menyesal nanti."

"Kamu yang akan menyesal. Biar cepat dapat jodoh. Kamu pikir bakal menikah sama tokoh-tokohmu itu?"

Kalau bisa, Nana memang akan memilih menikah dengan tokoh-tokoh yang dia ciptakan sendiri. Mereka pengertian, setia, dan tidak berpaling sama cewek secantik apa pun.

"Mas, Mas, tolong diukur anak saya." Sastiana bicara pada seorang lelaki yang sedang melayani pelanggan melihat-lihat gaun pengantin.

Nana menggigit bibir, hampir menangis. Dia sungguh tidak siap bertemu Andra di pesta pernikahan. Jangan sampai ada drama seorang gadis menangis di pesta pernikahan mantan kekasihnya. Duh, memalukan banget.

"Sebentar saya panggil dulu ya, Bu, mari duduk dulu." Si Mas itu pamit dulu, masuk ke dalam. Sastiana mendorong Nana lagi agar duduk di kursi tunggu, menatapnya tajam sebelum ikut duduk.

"Aku nggak akan datang jadi teman manten, Ibu. Kenapa Ibu ngeyel sih?" bisik Nana pelan dan kesal. Dia tidak sanggup membayangkannya nanti.

"Biar dapat jodoh. Kamu sudah lulus enggak kerja keluar, enggak juga nikah. Ibu pusing lihat kamu di rumah terus."

Nana menatap ke arah lain, lalu memutar bola mata. Bilang saja kalau itu masalahnya. Nana bisa cari kos atau kontrakan sendiri. Lagipula dia anak kandung kenapa diperlakukan seperti anak tiri?

"Kalau gitu biar aku keluar dari rumah," balas Nana pelan dan putus asa. Apa salahnya selama ini ya, Tuhan, sampai dia harus mendapat nasib seperti ini.

"Kamu mau Ibu main santet?"

"Enggak ada santet jaman sekarang, Ibu!" Ibunya memang kuno banget. "Lagipula kalau aku mati kena santet Ibu nggak akan punya anak kandung lagi."

"Anak tiri Ibu lebih baik daripada anak kandung," sahut Sastiana kalem. Diliriknya sang putri yang kini menunduk sambil menyeka hidungnya. Drama.

"Nggak akan ada yang mewarisi harta kekayaan Ibu."

"Harta Ibu kasih ke anak tiri."

"Cari sana anak tiri, cari sampai ketemu. Kalau sudah aku minggat dari rumah." Nana putus asa, Gusti... putus asa. Hidupnya memang menyedihkan. Ditinggal minggat sama ayahnya sendiri, diselingkuhi pacar dengan sepupunya, dan tidak disayang ibunya.

"Aku mau nikah saja!" Nana mengusap pipinya yang basah, "Mau ikut mertua saja," tambahnya lagi dengan terisak-isak.

Sastiana membuang napas. "Punya anak gadis kok begini to, Gusti," katanya tak kalah putus asa. Dia tersenyum kala melihat pemuda dengan jas rapi datang dari ruangan dalam. Ganteng banget, dan senyumnya sopan. Sayang anaknya seperti kurang pantas kalau disandingkan dengan anak lelaki itu.

"Ibu yang mau memesan pakaian?" tanya pemuda itu. Sastiana kenal, namanya Alen Pringgayuda.

"Iya. Ini buat anak saya. Mau jadi teman manten."

"Oh baik, Ibu sama Mbak bisa melihat dulu ke dalam kebaya untuk teman manten, mari saya antar."

Nana mengkerut di kursi. Dia tidak siap. Dia maunya gaun lebar warna putih yang berenda-renda di bagian dada, lengan, dan pinggang itu. dia maunya jadi pengantinnya, bukan teman manten.

The Wedding Planner (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang