2. Tak Terduga

14.3K 1.1K 72
                                    

Seminggu itu cepat. Hanya tujuh hari. Septiana atau Nana masih sama, mendekam di dalam kamar berjam-jam sambil membawa cemilan, keluar untuk makan atau untuk urusan mendesak lain. Nana sampai lupa nama beberapa tetangganya, dan bahkan jika ada manusia baru (orang melahirkan) dia juga sering tidak tahu.

Itu bisa menjadi alasan kenapa Sastiana harus marah kali ini. Alangkah menyedihkan kehidupan anaknya itu. Lulusan fisika, tapi berakhir sebagai penulis. Dia heran kenapa dulu Nana sampai ngotot mau kuliah di jurusan yang bisa membuat orang mengalami penuaan dini?

"Nana Sayang... adikku...." Sastiana berdiri di depan pintu, menatap Nana yang masih bergelung dalam selimut meski waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi.

"Nana, kamu mau bangun atau disiram?"

"Bangun, Ibu, sebentar lagi."

Sastiana tidak akan percaya. Di hari-hari biasa Nana bangun jam lima untuk menunaikan kewajiban, lalu tidur lagi hingga jam tujuh untuk sarapan, lalu kembali ke kamar entah untuk apa.

"Kamu harus siap pagi lho, Na. Ingat jatahmu sebagai teman manten." Sastiana gemas sendiri dibuatnya. Dia ambil air di gelas di meja belajar Nana dan mencipratkan ke wajah sang anak yang masih pulas.

"Bangun nggak kamu, Na? Mau beneran enggak dapat jodoh? Siapa yang mau punya menantu kaya kamu kalau begini terus kerjamu?"

"Ibuuu!" Nana menutup wajahnya dengan selimut. "Sebentar lagi."

"Kamu mau ibu jodohin?"

Nana langsung membuka selimut, menatap ibunya dengan sayu. "Asal ganteng, CEO yang hartanya nggak habis tujuh turunan, penyayang, punya banyak waktu buat aku, nggak suka selingkuh dan setia, ada brewoknya tipis, nggak banyak omong, bisa masak, nggak akan marah aku bangun jam-."

"Mimpi!" Sastiana memotong cepat. Begitulah hasil halu anaknya selama ini. "Cepat bangun, Ibu dandani."

"Aku nggak mau jadi teman manten, Bu. Aku nggak mau." Bahkan saat mau tidur jam tiga tadi, Nana langsung deg-degan. Dia tidak siap bertemu Andra di pesta pernikahan tapi sebagai tamu. Dia maunya jadi mempelai wanita, di samping Andra.

"Jangan macam-macam. Kamu bisa mengacaukan acara nikahan orang lain."

Andai Ibu Sastiana yang cantiknya hampir setara dengan Nana tahu, bahwa jika Nana benar datang ke acara itu, pikirannya hanya mengarah pada hal buruk. Dia mau merusak dekorasinya, membakar gaun pengantinnya, menambahkan garam di semua makanannya, dan rencana lainnya.

Sastiana yang sudah akan pergi berhenti lagi, menoleh ke Nana yang masih meringkuk.

"Kamu kalau hari ini nggak ngenalin siapa pun ke Ibu, ingat, Ibu akan carikan bapak-bapak duda beranak buat nikahin kamu."

"Ibuuu! Nggak mau duda!" Nana menjerit keras. "Nggak mau punya anak!"

"Makanya cari laki-laki di nikahannya Sasikirana, kenalin ke Ibu."

"Ibu tiri jahat banget!"

"Anak tiri suka ngelunjak!"

Nana menggigit selimut kesal. "Aku mau cari ayah Anggara. Aku mau ikut dia aja kalau Ibu maksa nikah terus."

"Cari sampai ketemu!"

Oalah Gusti, gini banget hidup Nana. Dia bergerak malas, mengenakan sendal rumahan dan masuk kamar mandi. Apa dia bilang saja kalau sebenarnya sedang mengharapkan seorang pria, tapi pria itu menikah saat ini, dengan sepupunya yang ganjen, sehingga ibunya akan berbelas kasihan padanya.

Akan tetapi, Nana harus mempertimbangkan dulu. Akan berhasil atau tidak ya? Dia menyesal kenapa dulu selalu melarang Andra datang ke rumahnya. Aaaa, Nana pusing.

The Wedding Planner (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang