3. Makan Malam

12.9K 1K 48
                                    

Nana melihat ibunya dari kejauhan. Di sampingnya masih ada Bapak Alen yang kalem, tidak banyak bicara, dan cuma sesekali mengajak Nana ngobrol. Dari situ Nana tahu bahwa Alen dan Andra berteman sejak SMA hingga kuliah. Dan, dari Alen pula, Nana pun seolah sangat mengerti kenapa sampai harus ditinggal empat tahun lalu oleh Andra.

"Berapa bulan pacaran sama Andra, Mbak?" tanya Alen tadi saat masih di stand makanan.

"Tiga bulan."

"Sekaligus pendekatan?"

"Pendekatan dua bulan," jawab Nana pelan. Dia agak kurang suka dengan pembahasan ini, apalagi fakta bahwa dia masih berharap akan menggantikan Sasikirana saat ini.

"Cuma lima bulan, tapi Mbak nggak bisa move on sampai sekarang." Nana melihat wajah Alen yang tak menampilakn ekspresi berlebihan. "Mbak yang nggak mau disentuh-sentuh atau Andra memang nggak mau nyentuh?" tanya Alen lagi.

Nana menarik napas, mengedik. Dia dulu cuma menjaga diri, karena masih SMA. Dia sama sekali tidak mau menyerahkan diri begitu saja pada laki-laki. Maka Andra memang hanya berhasil sebatas memegang tangannya. Pernah sekali mencium kening, tapi hanya sekali.

Setelah itu Alen diam lagi. Dia bertemu beberapa kawan lama dan itu memicu pertanyaan siapa gadis di sampingnya. Namun Alen hanya menjawab dengan senyuman kecil, tidak mengatakan apa pun. Nana senang, setidaknya mereka tidak harus terlibat dalam drama pacar pura-pura berkepanjangan.

"Sudah ibu suruh cari pasangan, kan? Kenapa masih sendiri?" Sastiana kelihatan sudah geregetan.

"Sudah dapat pasangan," sahut Nana acuh dan masuk di mobil ibunya.

"Jadi adik tiri memang selalu ngelunjak, ya! Bukannya bilang terima kasih malah langsung masuk." Sastiana menggeleng pelan saat Nana sama sekali tidak mendengarkannya. Dia beralih lagi menatap Alen. "Ngapunten, Mas Alen. Saya malah ngerepotin. Mohon maaf kalau nanti pasangan Mas Alen marah, ya."

"Nggak pa-pa, Bu, kebetulan saya juga belum punya pasangan di sini." Alen menjawab kalem. Sastiana bernapas lega, bersyukur sekali tadi menemukan Alen saat dia melihat Nana akan menghampiri mempelai. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi pada Nana. Mungkin sudah habis malu karena Sasikirana.

"Mas Alen mau langsung pulang atau masih mau di sini?" tanya Sastiana lagi.

"Langsung pulang saja, Bu."

"Oh, mau mampir ke rumah saya dulu? Nggak jauh dari sini. Kalau Mas Alen nggak keberatan, sebagai tanda terima kasih."

Di dalam mobil dengan kaca yang diturunkan sedikit, Nana menyembulkan kepalanya. "Bapak ikut saja deh, Mbak saya ini kalau mau sesuatu belum keturutan pasti sampai besok-besok dicoba lagi."

Sastiana mengibaskan tangannya pada Nana, menatap penuh peringatan. "Ini murni ucapan terima kasih, Mas Alen," katanya kemudian dengan senyum manis pada Alen.

Nana masih menatap Alen dengan senyum jumawa, meyakinkan bahwa Ibu Sastiana akan selalu berusaha keras untuk membawa Alen ke rumahnya, sebab Nana tahu ada tujuan lain dari ibunya.

"Minum teh atau makan malam sebentar," tambah Sastiana.

Nana menggigit bibir, menahan tawa. Seolah tatapannya mengatakan pada Alen, lihat sendiri kan, Pak? Dia Mbak saya, atau Ibu saya, jadi saya sangat mengenal dia dengan baik.

"Baik, Bu, kebetulan saya punya waktu saat ini."

Nana kembali memasukkan kepalanya ke dalam mobil, bagus. Dengan begitu urusan dengan Alen akan segera selesai. Terdengar Sastiana bilang terima kasih dan akhirnya mereka tiba di rumah Nana beberapa menit kemudian.

The Wedding Planner (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang