8. Liburan Ala-ala (1)

8.7K 1K 86
                                    

Nana mengerjap saat merasakan kakinya kebas dan pinggangnya berat. Sebuah tangan di pinggang dan kaki di atas kakinya. Sontak saja Nana tersentak ke belakang dan mengingat dengan jelas dengan siapa ia tengah tertidur sekarang. Semalam, setelah berpuluh-puluh menit yang terasa panjang dan dia masih tidak bisa memejamkan mata, Nana akhirnya memutuskan menerima tawaran Alen. Untuk apa lagi kalau bukan tidur sekamar dengan lelaki itu.

Alen yang kelihatan sudah ngantuk banget hanya mengangguk saat Nana ancam agar tidak berbuat macam-macam. Tapi kini jelas Nana sedang diapa-apakan.

"Bapak," panggil Nana pelan. Sebentar, dia mau teriak tapi belum bisa. Tapi Nana juga tidak bisa bergerak. Nana yakin pakaiannya masih lengkap dan itu membuat dia tenang sedikit.

"Bapak!"

Nana tahu Alen tersentak. Tubuhnya langsung terbebas dari lilitan tangan dan kaki Alen. Nana langsung berguling ke samping menjauh dari Alen.

"Bapak sudah janji nggak akan apa-apain saya!"

Alen mengernyit, "Memang saya apain kamu?"

"Kita sudah sepakat tidurnya jauhan. Tapi Bapak deket-deket saya," kata Nana pelan disertai rengutan.

"Siapa yang dekat-dekat kamu?" tanya Alen kebingungan. Lalu, dia ingat yang semalam. "Kamu kalau tidur gerak terus sampai mau buat saya jatuh. Jadi saya dekep biar kamu diam."

Nana mengatupkan bibir. Jadi begitu? Pantas cengkraman Alen dan kaki yang melilitnya terasa erat.

Nana melemaskan lagi otot-ototnya dan menarik selimut hingga dada. "Saya kira Pak Alen cari kesempatan," gumamnya pelan.

Alen menghela napas dan bangkit dari ranjang, memakai sandal rumahnya. "Padahal kamu yang apa-apain saya," katanya sebelum berlalu.

Nana melotot lebar, apa maksudnya? Dia tidak melakukan apa-apa kok sebelum tidur. Akan tetapi saat berbaring di samping Alen, pikirannya berkelana jauh. Ke novel-novel dan film erotis, dan pada ciuman di halaman rumah.

Nana mengerang. Mana mungkin dia begitu? Baru kali ini Nana menyesali pengetahuannya tentang hal begitu. Nana melihat Alen sudah kembali ke kamar lagi, wajah dan rambutnya basah. Ganteng banget gitu, Nana jadi khawatir kalau semalam dia betul-betul lepas kontrol.

"Pak Al," panggil Nana pelan. Dia menutup wajahnya sebagian dengan selimut. "Kita... ngapain aja?"

Alen manaikkan alisnya. "Nggak ingat?"

Nana menggeleng kuat. Tidak ada apa pun yang dia ingat.

"Mau saya ingatkan?" tanya Alen lagi, kelihatan tidak yakin. Nana mengangguk.

Alen menghela napas, lalu duduk di pinggir ranjang. "Sini," katanya menyuruh. Nana beringsut ke dekat Alen dengan ragu.

Alen sedikit menunduk, menatap Nana dengan jarak dekat tanpa menyentuh sedikit pun bagian tubuh Nana.

Nana mengedip cepat, "Kita ciuman?" tanyanya bingung dan gugup. Alen diam saja. "Bapak mau cium saya lagi?"

"Mau?"

Hem? Nana mengerutkan hidungnya, tatapannya pindah ke selimut cokelat polos yang masih membungkus badannya, lalu kembali menatap Alen dan tercekat saat mendapati wajah lelaki itu sudah begitu dekat dengannya. Nana ingat bahwa bibir Alen memang kenyal, basah, dan sedikit membuatnya kelimpungan.

Dan, sedikit saja kesadaran yang ada dalam diri Nana saat mengeluarkan tangannya dari dalam selimut dan memindahkan ke leher Alen. Nana merasakan lagi bibir kenyal itu, masih basah dan rasanya mendorong Nana untuk melakukan apa yang dilakukan Alen kemarin. Nana sadar tapi tidak sedikit pun menginginkan lepas.

The Wedding Planner (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang