11. Baikan

5.8K 873 66
                                    

Alen nyebut berkali-kali. Untung dia segera sadar dan mengendalikan diri. Jika tidak, mungkin Nana bukan cuma sesenggukan seperti itu. Mungkin sudah meraung keras dan menyebabkan keributan di sini. Dia tatap Nana yang masih berbaring dan terisak-isak sambil memegangi dadanya. Begitu maunya diapa-apakan, baru disentuh sedikit sudah nangis.

Alen mengambilkan botol minum dan menyerahkan pada Nana. Si gadis yang entah bagaimana cara berpikirnya itu menerima, menenggak sedikit dan beringsut ke sudut ranjang, melipat kakinya.

Alen sungguh tidak bisa berkata-kata lagi. Tadi ngotot, sekarang menatap Alen saja seolah melihat penjahat.

"Berubah pikiran?" tanya Alen pelan. Dia tenggak air di botol bekas Nana demi meredakan emosinya.

Emosi, geregetan, dan nafsu sekali mau menghabisi Nana. Dia ibarat kucing dan Nana ikan. Tanpa dikasih saja dia sudah mengincar, ini malah Nana yang menyerahkan diri.

"Nggak mau, sakit."

Ya iya dong. Apalagi kalau nggak menikmati seperti tadi. Alen menghela napasnya lagi.

"Kemarin kamu nggak mau tidur sama saya karena takut saya apa-apain. Kemarin juga kamu goda saya, kamu cium saya, sengaja kan? Pagi kamu suruh saya lakukan hal begituan. Berselang sedikit kamu sudah berubah pikiran. Saya ajak nikah ngeyel nggak mau, tapi tetap mau saya melakukan itu. Sekarang sudah saya lakukan kamu nangis." Alen menggeleng, menatap Nana dengan ekspresi tak terbaca. Semuanya, rasanya berkumpul di kepala Alen sekarang. "Umurmu berapa, Na?"

Nana bergeming sesaat, dia mengusap ingusnya dengan tangan. "Kenapa Bapak tanya umur?"

"Cuma mau bilang kalau anak umur sepuluh tahun aja lebih berpendirian daripada kamu."

Alen tahu dia sudah bersikap kejam pada Nana. Meski sering bertengkar dan adu mulut dengan ibunya, Nana tetap diperlakukan sebagai anak tunggal yang dilimpahi kasih sayang meski hanya dari orang tua tunggal. Jelas berbeda jauh dengan Alen meski sama-sama anak tunggal.

"Saya tau," sahut Nana pelan dan diselingi isak tangis yang masih tersisa sesekali. "Makanya Bapak nggak bisa nikahin saya."

"Siapa bilang?"

"Saya. Saya masih kaya anak kecil."

Alen mengedik dan mendekat ke meja, menyiapkan sarapan Nana yang lebih pantas disebut makan siang sekarang.

"Justru karena kamu kekanakan, siapa lagi yang bisa bertahan sama pikiran plin-plan kamu kalau bukan saya?" Alen membawakan makanan itu pada Nana. "Untung kamu nggak nikah sama Andra, dia nggak sabar sama anak kecil."

Nana merasa patah hatinya di-alhamdulillah-kan sama Alen. Tapi memang benar begitu kan, Na? Iya, iya, betul. Bapak Alen memang betul. Nana menerima makanan yang disodorkan Alen dan memangkunya.

"Saya minta maaf, Pak Al," kata Nana pelan.

Alen tersenyum, hampir tertawa. Dia raih kepala Nana dan menepuknya pelan. Anak kecil... anak kecil. "Saya juga minta maaf." Lalu mengambil lagi makanan yang baru Nana pangku.

"Katanya buat saya?" Nana protes. Dia lapar, banget. Teriak-teriak, nangis, dan merasa benci tentu butuh tenaga banyak.

"Ke kamar mandi dulu, kamu mau makan sama ingus begitu?" Alen menatap wajah Nana yang tidak karuan.

Sementara Nana sendiri langsung
berdecak dan berlari kesal. Sudah buat malu diri sendiri, kelihatan jelek pula. Alangkah menyedihkan keadaan anaknya, Bu Sastiana. Ya ampun, Na, kenapa baru malu sekarang? Dari kemarin urat malumu sudah kamu buang ke mana?

Nana duduk lagi di samping Alen setelah memastikan wajahnya bersih.

"Pak," sebut Nana. Alen berdehem kecil, menatap ponselnya. "Soal nikah itu, nggak serius kan?"

The Wedding Planner (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang