"Ibu mau pergi?"
Nana menatap koper dan ibunya yang baru keluar kamar dengan heran. Perasaan ibunya tidak berkata apa-apa, dan hubungan mereka juga sedang baik-baik saja. Mana mungkin ibunya bakal pergi hanya karena beberapa hari lalu sempat bertengkar.
"Iya," jawab Sastiana. Dia letakkan tas kecil di atas koper dan kembali ke kamar lagi. Nana mengikutinya dengan kening berlipat-lipat.
"Ke mana? Kok aku nggak diajak?"
"Ke Jogja, saudara kamu ada yang nikah. Diajak juga kamu nggak akan mau, kan? Daripada kamu ditanyain kerja apa nggak ada jawaban, ditanyain kapan nikah juga masih bingung, biar Ibu aja yang ke sana."
Nana mencebikkan bibir dengan tatapan sinis. Iya, iya, dia memang tidak kerja di kantoran, dan kerjaannya pun terkesan tidak menjanjikan sama sekali. Dan lagi, soal menikah dia memang tidak punya jawaban apa-apa.
"Aku di rumah sendiri, Bu?" Nana menggigit bibirnya khawatir. Dulu kalau dia ditinggal pergi, masih ada Didi yang kost-nya bisa ditinggali. Sekarang Didi sudah tidak kost lagi dan bahkan Nana tidak tahu di mana sahabatnya itu tinggal.
Sastiana berhenti bergerak. Dia menatap Nana dan seolah sedang berpikir keras.
"Kamu sama Mas Alen ya? Di rumahnya Mas Al atau di sini, terserah kalian saja."
"Ibu mau aku tinggal berdua sama laki-laki?" Nana terperangah tidak percaya. Aduh, dia saja baru kenal Bapak Alen berhari-hari lalu.
"Kalian kan sudah sepakat jadi kakak dan adik," kata Sastiana ringan. "Mas Alen juga nggak akan apa-apain kamu. Kalau apa-apain juga pasti tanggung jawab."
Nana meringis prihatin, kenapa kesannya Ibu mau dia diapa-apain sama Pak Alen coba? Nana mengikuti ibunya hingga wanita itu keluar rumah, mobil yang dipesan sudah ada di depan.
"Jangan repotin Mas Alen ya, Na."
"Kaya aku pernah ngerepotin orang aja," sahut Nana sedikit kesal.
"Memang enggak pernah?" Sastiana bertanya dengan lagak meremehkan. Nana langsung mesem lebar. Baiklah, baiklah... Nana memang sering merepotkan orang lain selama ini, termasuk Pak Alen yang baru beberapa hari jadi kakaknya.
Sastiana pamit setelah itu dan menghilang dari pandangan Nana dalam beberapa menit. Nana menutup pintu dan kembali ke kamar.
***
Nana sudah mengirim pesan pada Alen, dan katanya mereka tidur di rumah Alen saja. Nanti malam sekitar jam tujuh Alen akan datang menjemput Nana di rumahnya. Kalau tau punya kakak jadi seenak ini, sudah dari dulu Nana minta ibunya angkat Alen jadi anak. Tapi kan memang Alen sudah jadi anak ibunya dari dulu, hanya tidak pernah dibawa ke rumah ini, atau mungkin Nana yang tidak tahu.
Nana mengambil dompet dan memakai jaket. Cuaca lagi agak mendung dan udara dingin, tapi dia harus membeli sabun muka dulu. Masih ada beberapa menit sebelum Alen datang menjemput....
"Hai, Nana."
Nana berhenti melangkah keluar, menatap lelaki yang berdiri di depan pintu rumahnya, lengkap dengan setelan jas hitam yang agak berantakan, dengan sedikit kikuk.
"Hai, Andra. Maaf, ada apa?"
Andra, lelaki itu, menggeleng pelan. Tidak ada apa-apa, dan dia tidak tahu kenapa sampai nekat datang ke sini. Hanya saja, "Kamu bohong kan kalau pacaran sama Alen?"
Nana membuka mulut hendak menjawab, tetapi Andra mendahului.
"Aku tau kalian pasti bohong. Dan nggak mungkin kamu sudah melakukan hubungan dengan Alen. Aku tau sekali kamu dan Alen bagaimana. Kalian nggak akan melakukan hal sejauh itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Planner (SELESAI)
ChickLitSeptiana--Nana tumbuh dewasa dalam keluarga broken home. Sang Ibu, Sastiana, membesarkannya dengan penuh kasih sayang sehingga Nana selalu hidup dalam zona nyaman. Ia tak suka keributan, pun selalu memendam amarahnya. Akan tetapi hidup Nana mulai b...