14. Jerawat

5.5K 849 70
                                    

Setelah mencuci wajahnya tadi pagi, Nana merasakan sesuatu yang membuat pipinya nyeri. Tepat sekali, ini jadwalnya datang bulan. Padahal dua bulan sudah dia datang bulan dan tidak jerawatan, tapi hari ini muncul. Bayangan wajah Alen yang mulus membuat Nana langsung panik. Bagaimana kalau Alen melihat dia punya jerawat?

"Didi," sapa Nana cepat setelah panggilan terhubung. "Aku jerawatan, Di," katanya mengeluh.

"Lho kan memang biasa jerawatan, Na. Biasanya juga nggak panik."

Didi belum tau kalau Nana sudah punya calon suami yang gantengnya minta ampun. Makanya dia bisa bicara seenteng itu.

"Obat dong, Di, ada nggak?"

"Itu udah jerawat apa baru bakal jerawat?"

"Baru mau jadi jerawat, paling semalem lagi sudah mlentus merah-merah." Nana menatap pipinya di cermin. Rasanya keras dan merah, ditekan sedikit sudah nyeri tidak karuan.

"Aku kan nggak pernah jerawatan, Na, gimana bisa tau ya. Coba aku tanyain sama temen kita dulu, siapa tau ada yang tau."

Nana bergumam, dia geregetan mengusap jerawatnya dengan jari, tapi tahan, jangan disentuh.

"Tante Sasti siapa tau ngerti, Na. Udah tanya?"

Ah, iya. Bagaimana Nana bisa lupa ibunya itu bisa dalam segala hal. Nana terkekeh, "Iya lupa, ya udah deh mau tanya Ibu aja."

"Eh, Naaa. Tunggu dulu." Nana batal mematikan panggilan, menunggu Didi bicara lagi. "Mau aku kenalin sama cowok nggak?"

"Nggak!" sahut Nana cepat. Haduh, dia males banget nih terlibat sama banyak cowok. Sudah ada Alen, ya satu saja kalau begitu.

"Ih, kok nggak mau sih, Na. Biar move on, itu udah jadi laki orang tau!"

"Udah move on kok," sahut Nana kalem. "Nanti kalau mendadak aku suruh kamu datang buat nemenin aku lamaran, kamu datang ya, Di."

"Eh Neng!" Didi tertawa keras, "Nikah sama abang tukang bakso? Apa sama penjual cilok depan kampus? Ngadi-ngadi aja nih jadi anak. Jangan halu banget gitu lho!"

Rasanya Nana ingin menjitak kepala Didi sekarang. Andai dia tahu yang jadi calon suaminya adalah laki-laki idaman para wanita. Tampan dan mapan.

"Nggak percaya ya udah si, nanti aku kirim undangan. Kamu bilang aja sekarang tinggal di mana," balas Nana sinis. Didi masih betah ketawa, bahkan mungkin wajahnya merah sekarang.

"Na, ponakanku mau beli bukumu nih, ada yang ready apa nggak?"

Baru Nana menanggapi dengan sumringah, "Ikut PO aja sebentar lagi, nanti aku kabarin. Sekalian dapat tanda tangan."

"Ya udah deh, aku mau keluar dulu. Baik-baik, jangan kelewatan halunya. Pake acara mau lamaran segala, jangan-jangan dapat duda."

Ini sih bukan duda, tapi sudah lebih mantap dari duda. Cuma Nana belum merasakan bagaimana sentuhannya. Ya ampun, baru bibirnya saja sudah bikin ketagihan, apalagi kalau yang lain-lain ya? Nana menggeleng, kok sekarang dia jadi mesum banget mikirin Alen.

Selagi kewarasannya masih menguasai, Nana segera menuju dapur. Duduk di meja dan menatap ibunya yang tengah membuat teh.

"Bu," panggilnya. Sastiana berdehem singkat.

"Aku jerawatan," kata Nana pelan. Sastiana menoleh dan menaikkan alis, seolah tanya terus kenapa kalau jerawatan?

"Pak Alen wajahnya bersih banget ya, Bu? Aku lihat gitu, pori-porinya sampai buat aku insecure." Coba kalau pori-pori wajah Nana juga insecure seperti Nana, pasti sekarang sudah mengecil sendiri.

The Wedding Planner (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang