10. Kelanjutan

6.1K 828 60
                                    

Hanya menempel dan tidak lebih dari sepuluh detik. Nana mendapati Alen beranjak dari atasnya dengan kasar dan berlalu ke kamar mandi. Sementara Nana berusaha keras menormalkan detak jantungnya yang menggila menerima bentakan dari Alen.

Sudah dua jam berlalu dan Nana masih saja belum berani mengeluarkan suara memanggil Alen. Dia duduk di ranjang sambil menggigit bibir. Alen masih kelihatan marah, dan untuk apa marah? Toh Nana sebenarnya tidak memaksa. Alen sendiri yang bilang kalau Andra meninggalkan Nana karena dia tidak bisa memberikan belaian. Nana pikir, di zaman sekarang, semua laki-laki seperti itu.

Ah, tentu tidak. Alen tidak sama. Nana sudah menyodorkan dengan suka rela tapi Alen masih tetap tidak mau menyentuhnya. Akan tetapi bukankah Alen juga sudah berjanji? Jika Nana mengatakan alasannya, maka Alen akan membalas dengan menuruti keinginan Nana. Namun lihat, Alen justru sibuk mengobrak-abrik isi kopernya.

Baiklah, Nana harus memulai lebih dulu. Dia beringsut ke pojok ranjang, menyentuh pinggirannya dengan sedikit gugup.

"Pak Alen," sebutnya pelan, hampir serupa bisikan. Akan tetapi belum juga direspon.

"Bapak Al...." Nana memanggil panjang, tapi masih sama. Nana berdehem-dehem, mencari perhatian sekaligus meredakan rasa takutnya. Kenapa pula Alen harus marah padanya?

"Saya sudah bilang alasannya, tapi Bapak nggak menepati janji. Justru marah sama saya." Nana menggigit bibirnya saat Alen berbalik badan. Menatapnya tajam, lebih mengerikan dari tadi.

"Saya cuma mau tagih janji," ucap Nana pelan. Namun Alen justru mendengus keras dan melempar baju ke kopernya.

"Nggak ada yang kamu pikirin selain itu, Na?" Alen tak habis pikir, sangat tidak habis pikir. "Berapa banyak buku yang kamu baca? Berapa banyak kamu nulis? Saya pikir kamu sudah cukup dewasa dengan itu, tapi kamu nggak lebih pintar dari anak SMP!"

Nana mengerut dalam. Alen hanya mau bilang bodoh, kan? Kenapa harus serepot itu bilangnya. Tinggal bilang saja kamu bodoh, Nana! maka Nana tidak akan keberatan.

"Kamu pikir kalau kamu beri seks sama laki-laki jadi jaminan mereka nggak akan ninggalin kamu?!"

Nana meneguk ludah paksa. "Tapi Bapak bilang Andra--"

"Nggak semua laki-laki jadi bajingan seperti Andra, Nana!"

Nana menatap Alen, mulutnya terbuka hendak membalas bentakan tersebut, tetapi urung saat menatap Alen begitu murka.

Alen sendiri berusaha keras mengatur deru napasnya yang menggila. Dia menyesali persetujuan satu kamar dengan Nana, juga menyesali keputusannya yang tidak booking kamar sejak masih di Jakarta. Hanya dengan alasan bahwa mencari kamar dengan Nana jauh lebih menyenangkan, sekarang berakhir begini.

"Kamu yang harusnya ninggalin laki-laki brengsek begitu."

Nana mundur hingga mepet ke kepala ranjang. "Tapi semua laki-laki pasti begitu, Pak. Sekarang, nggak ada laki-laki yang akan mempertahankan saya tanpa saya berikan tubuh saya."

"Saya begitu?" tanya Alen dingin.

Nana menggeleng, "Nggak," gumamnya pelan. "Tapi Bapak pasti menghargai ibu saya, karena Bapak sudah dianggap anak sama ibu saya. Kalau tidak...."

"Kalau tidak apa?"

Pasti Bapak juga melakukan itu pada saya. Tapi, Nana, bukannya Alen bilang belum pernah melakukan itu sama siapa pun di usia ke-29 tahunnya? Jadi, mungkin bukan karena dia kakak, tapi karena dia memang tidak akan melakukan itu.

"Kamu juga menulis tokoh laki-laki bajingan, Na?"

Suara Alen masih dingin, dan Nana menggeleng. Dia menuliskan tokoh yang selalu pengertian, tidak mengambil jatah sebelum pernikahan. Akan tetapi mungkin yang seperti itu memang sudah tidak ada sekarang.

The Wedding Planner (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang