Bab 6
Begitu Nana dan Alen tiba di dapur, setelah memastikan bahwa Sasikirana meninggalkan rumah, wanita yang menjadi ibu mereka sudah menatap dengan tatapan paling galak sedunia. Untung tidak ada pisau di tangannya, sebab jika iya, Nana akan meninggalkan rumah ini sekarang juga.
"Apa yang kamu pelajari selama ini, Nana?"
Pertanyaan keluar. Nana tersenyum manis, "Fisika Ibu. Gaya, rumus, gejala fisika di sekitar kita, antariksa, quantum, termodinamika, dan masih banyak lagi."
"Dan juga tentang melakukan di sofa?"
Nana tersenyum kaku, baiklah... tidak seharusnya dia mengatakan hal seperti itu di depan sang Ibu Tiri. "Ibu salah dengar," gumamnya pelan. "Itu hanya untuk mengusir Sasikirana. Ibu sebenarnya juga mau kan, Sasikirana pergi dari sini?"
Sastiana berdehem, iya, betul, dia memang mau. Namun bukan begitu caranya. Menggandeng Alen, membawanya masuk ke kamar, dan mengatakan hal yang iya iya di depan Sasikirana. Nana pikir apa yang akan dilakukan sepupunya itu nanti? Bagus kalau Sasikirana tidak membicarakan hal ini kepada keluarganya yang lain, bagaimana kalau Sasikirana mengatakan apa yang Nana bicarakan tadi di depan seluruh keluarganya?
Membuat suaminya memilih wanita lain sudah menjadikan Sastiana sebagai pihak yang bersalah. Tidak pintar menjaga diri, merawat diri, mengurus suami.
"Kalau mau melakukan sesuatu kamu nggak bisa pikirkan dulu, Na?" Sastiana membuang napas. "Sasikirana bukan orang yang hanya akan diam. Kamu belum puas dicaci maki keluarga selama ini?"
"Bu...."
"Bagus kalau kamu cuma dicap sebagai perempuan nggak bener. Kalau mereka sampai melakukan hal lain bagaimana, Na? Ayahmu yang selingkuh saja Ibu yang salah di mata mereka."
Nana menipiskan bibir, menyatukan dua tangannya ke depan perut.
"Kamu nggak pernah mau kumpul keluarga, tapi Ibu setiap kali selalu sama mereka. Kalau cuma Ibu yang dibicarakan begini begitu, nggak masalah. Tapi Ibu nggak akan mau dengar nama kamu ikutan jadi bahan pembicaraan."
"Bu, tapi Sasikirana juga salah." Nana membalas protes. Namun ibunya cuma menggeleng tidak setuju, atau setuju tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa.
"Nggak penting siapa yang salah. Yang penting siapa yang dapat perhatian lebih, dan kamu sama sekali nggak punya perhatian dari mereka. Jangan sekali-kali kamu ulangi lagi, Nana."
Nana menarik napas dan membuangnya keras-keras. Apa-apaan dunia yang semacam ini? Benar salah tidak lagi berguna.
"Bu Sasti...."
"Mas Alen, sudah jangan ikuti Nana lagi. Biarkan dia jalan sendiri. Nggak perlu pura-pura jadi pacarnya lagi. Kalau memang Nana masih mau sama Andra, biar lakukan semaunya."
"Ibu! Aku nggak mau sama dia!"
"Kalau gitu jangan bertengkar lagi sama Sasikirana."
"Ibu kenapa bela dia terus sih? Jelas-jelas dia salah. Dia yang seenaknya, semaunya. Lagian kalau memang keluarga ayah nggak mau terima lagi, kita nggak usah berhubungan sama mereka."
"Nana!"
"Terserah ibu aja!"
Sastiana melihat tubuh Nana yang berbalik dan menaiki tangga dengan cepat. Dia menyentuh keningnya, pusing. Sudah berapa lama dia biarkan Nana nyaman dengan hidupnya sendiri, tidak mencoba membuat Nana mengerti bahwa mereka tidak bisa meninggalkan keluarganya begitu saja. Nana masih anak mantan suaminya, cucu mertuanya, dan ponakan saudara-saudara suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Planner (SELESAI)
ChickLitSeptiana--Nana tumbuh dewasa dalam keluarga broken home. Sang Ibu, Sastiana, membesarkannya dengan penuh kasih sayang sehingga Nana selalu hidup dalam zona nyaman. Ia tak suka keributan, pun selalu memendam amarahnya. Akan tetapi hidup Nana mulai b...