13. Persoalan Lamaran

5.6K 877 84
                                    

Itu yang suka godain Mas Al di kolom komentar, tolong mundur alon-alon aja, atau aku sendiri yang bertindak. Mas Alen jatahku ya selama cerita ini belum selesai! 😡😡

Tertanda: Septiana Nana 🔪🔪

***

Nana hanya merasa dicintai. Benar, tidak salah, dia merasa dicintai, dan perasaan itu bisa membuatnya lupa bahwa Alen adalah orang yang sudah mengajak nikah seenaknya. Mendadak dia bersyukur sudah tidak menolak Alen.

Nana masih menatap Alen tanpa kedip, berharap dia juga hanya menginginkan Alen yang menjadi suaminya. Sialnya, bukannya pikiran untuk menjadikan Alen satu-satunya orang yang Nana inginkan untuk jadi suaminya, dia justru berpikir hal lain. Nana masih ingat rasanya bibir Alen.

Astaga, Gusti, sadarkan Nana. Jangan sampai dia kelepasan lagi di sini.

"Saya ukur, Na."

Nana mengembuskan napas lega. Untung Alen segera berdiri, jika tidak, Nana pasti betulan bisa kelepasan.

"Saya belum pilih mau pakai yang mana, Pak," kata Nana setelah tersadar.

"Yang ini buat lamaran, saya yang pilihkan ya?" Alen sudah siap dengan meteran di leher dan buku kecil. "Cuma kebaya sederhana," tambah Alen.

Melihat Nana yang diam saja, belum beranjak dan justru bengong, Alen menyentuh kepala Nana. "Mau pilih sendiri?" tanyanya.

Nana segera mengerjap dan menggeleng yakin.

"Lamaran ya, Pak?" Nana membasahi bibirnya dengan lidah. Gugup.

"Iya. Kamu nggak berpikir langsung nikah tanpa lamaran, kan?"

"Nggak!" jawab Nana cepat. Dia segera berdiri di depan Alen, badannya tegang.

"Tapi, Pak," Nana menatap Alen dengan perasaan campur aduk, "setau saya, menikah kan artinya dua manusia akan hidup bersama. Berati soal lamaran dan prosesi sebelum menikah pun seharusnya saya ikut andil dalam persiapannya. Bukan cuma Bapak sendiri."

Melihat Alen yang hanya diam dan justru mengukur bagian punggung Nana, dia menambahkan, "Dan karena kita menikah dalam keadaan seperti tiba-tiba, nggak ada perasaan saling mencintai, maka kesempatan kita untuk pendekatan adalah waktu persiapan ini. Bukannya Bapak justru menyiapkan segalanya sendirian. Saya butuh tau apa plan yang sudah Bapak susun ke depannya."

"Tumben," gumam Alen tanpa menghentikan kegiatannya.

"Tumben apa maksud Bapak?"

"Tumben pikiran kamu dewasa."

Nana mendengus kesal. Bisa-bisanya Alen berkata begitu saat Nana sedang serius.

"Ukur dadanya sendiri," kata Alen menyerahkan meteran.

Namun, Nana tersenyum lebar. Bukannya menerima meteran, dia justru mengangkat tangan dan sedikit membusung.

"Bapak dong, nanti saya yang ukur nggak pas lagi," katanya tanpa beban.

Alen tertawa, baru juga dibilang dewasa sudah balik lagi sifatnya. Dia lingkarkan meteran ke paha Nana, lalu naik ke pinggang dan terakhir ke bagian dada.

"Bra kamu pakai yang ada gabusnya ya, Na?" tanya Alen setelah selesai menulis hasil ukuran ke buku.

Nana melotot lebar, "Nggak bisa mikir yang baik-baik ya, Pak?!"

Alen menggeleng kecil, "Baru saya sentuh pakai meteran aja udah kerasa. Kapan-kapan ganti jangan yang pakai--Nana! Sakit tau!"

Nana tidak peduli. Mau sakit, mau sakit banget, terserah. Asal dia bisa menghentikan mulut Alen yang sudah berani bicara ngelantur.

The Wedding Planner (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang