5. Drama ke Dua

10.9K 1K 57
                                    

Bab 5

(Warning! Berisi kejulidan yang panjang!)


"Kamu mau ikut makan?"

Nana menggeleng. Dia hanya sedang berusaha mengamati Alen Pringgayuda yang kelihatan baik-baik saja. Dari hari-hari yang sudah dia habiskan kemarin, Nana akhirnya tahu bahwa Alen anak tunggal. Ibunya meninggal saat Alen baru masuk semester satu. Sekitar sepuluh tahun yang lalu mungkin. Kata Bu Sastiana, sang Ibu Tiri yang kejamnya melebihi ibu tiri di televisi itu, usia Bapak Alen sekarang 29 tahun. Akan tetapi Nana menyangka usianya sudah 30 tahun ke atas.

"Ada yang mau kamu tanyakan?" tanya Alen lagi, dan Nana masih menggeleng. Alen menelan makanan di mulutnya, lalu menatap Nana sejenak. "Kalau begitu jangan tatap saya seperti itu. Kamu pasti nggak terima kalau saya bilang Nana suka saya, kan?"

Nana menarik mundur badannya menjadi menyandar ke kursi. "Bapak ada-ada saja, jelas-jelas saya masih suka sa—ma. Saya cuma penasaran apa Bapak masih sedih atau sudah baik-baik saja," jawab Nana jujur. Untung tidak menyebut nama Andra.

"Kamu pernah merasakan apa yang saya alami, Nana."

Jelas beda. Nana ditinggal karena ayahnya selingkuh, dan dia lebih menyimpan rasa benci timbang sedih. Selain itu dia masih bersama ibunya.

"Bapak boleh sering-sering datang ke rumah saya," kata Nana, yakin dan mantap. "Bapak boleh anggap ibu saya sebagai ibu Bapak." Nana merasa dia menjelma menjadi Ibu Peri sekarang.

"Saya memang sudah dianggap anak sama Bu Sasti," sahut Alen kalem. Nana cuma mesem, baiklah, baiklah.

"Dan lagi," ucap Nana, "Bapak kalau pagi mending datang ke rumah saya."

Giliran Alen yang kini menatap Nana lekat-lekat. "Kamu mau banget ya, saya datang ke rumah kamu?" tanyanya keheranan.

"Biar saya nggak perlu datang ke sini untuk antar sarapan Bapak, kenapa Bapak percaya diri banget deh."

Alen terkekeh kecil, mengangguk-anggukkan kepalanya, merasa lucu. Dia santap lagi makanan yang dikirimkan Bu Sasti dengan lahap.

"Jangan khawatir, saya ada tukang masak. Besok baru saya suruh masak lagi."

Nana pikir Alen bisa masak karena ditinggal ibunya sejak lama pastilah membuat kemampuan lelaki itu terasah. Akan tetapi Nana juga harus mengerti bahwa tidak semua laki-laki mapan memang bisa masak. Aneh-aneh saja, Na, jelas mereka punya banyak uang untuk membayar tukang masak atau membelinya.

"Kamu nggak bawa mobil kan, Na?"

Nana menggeleng. Dia tadi malas masuk rumah lagi untuk ambil kunci mobil.

"Kalau begitu tunggu saya sebentar, pulangnya bareng saya."

"Nggak mau. Saya mau pulang sendiri." Nana berkata cepat. Kenapa Pula Alen harus mengantarnya, bisa-bisa Bu Sastiana terlonjak senang nanti.

"Saya mau ke rumah kamu, kamu bilang boleh sering-sering datang ke sana. Jadi bareng saja."

"Saya nggak mau, Bapaaak!" Ngeyel banget sih, Bapak hot satu ini. "Saya mau pulang sendiri."

Alen cuma bergumam pelan, mengangguk dan tidak ingin memaksa lagi. Dilihatnya Nana menatap ponselnya beberapa saat dan ekspresinya langsung berubah hanya dalam hitungan detik.

"Baik, saya bareng Bapak kali ini," kata Nana terpaksa. Meski merasa aneh, tapi Alen tetap mengangguk. Entah apa yang sudah Nana lihat di ponselnya. "Jangan pede, ini karena ternyata saldo OVO saya habis," tambah Nana. Dia pikir tadi saldonya masih banyak, ternyata satu minggu yang lalu sudah dia gunakan buat belanja online.

The Wedding Planner (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang