4. Sebuah Penawaran

11.6K 1K 83
                                    

Bab 4

Rupanya Pak Yuda itu sudah tua, betul-betul tua. Mungkin usianya sekitar enam puluh tahunan, dan ketika Nana masuk ruangan VIP yang menjadi tempat dimana Pak Yuda dirawat, hanya ada Alen di sana. Keluarganya yang lain? Saudaranya Alen mungkin, atau istri Pak Yuda. Nana menahan rasa penasaran itu.

"Anakmu, Ti?" tanya Pak Yuda dengan suara yang tidak bisa lagi dibilang jelas. Tubuhnya kurus, berbaring dengan keadaan yang kelihatan lemah sekali. Ia menatap Nana saksama dengan senyum tuanya.

"Iya, Pak, yang pernah aku ceritain itu," jawab Sastiana. Ia duduk di kursi sebelah Pak Yuda sementara Nana hanya berdiri di belakangnya.

"Sudah besar, dulu aku lihat dia masih ngompol," kata Pak Yuda lagi diikuti suara tawa yang serak. Nana tersenyum kecil, saat dia masih ngompol dulu, sama sekali tidak ada kenangan yang dia ingat.

"Jangan galak-galak Ti, nanti nggak ada laki-laki yang berani dekat sama dia," tambah Pak Yuda.

"Aku sudah suruh Pak, justru mau dikenalin dia yang nggak mau," balas Sastiana diikuti kekehan kecil. Nana tidak bisa berbuat apa-apa, maksudnya, dia tidak mungkin membalas ibunya seperti biasa di depan Pak Yuda yang sedang sakit.

Selanjutnya Sastiana dan Pak Yuda bincang-bincang seperti biasa, seolah Pak Yuda sehat. Mereka masih bisa tertawa, kadang diselingi suara batuk Pak Yuda yang terdengar berat. Hingga tiba di waktu Pak Yuda terlihat kelelahan, Sastiana memintanya istirahat lagi. Dia akan kembali ke rumah, besok pagi Sastiana akan kembali ke sini membantu menjaga Pak Yuda.

Nana semakin heran, sedekat apa hubungan ibunya dengan keluarga itu? Kenapa baru sekarang dia tahu dan mengenalnya.

"Kapan-kapan aku nitip Alen ya, Ti, anggaplah sebagai anakmu sendiri," kata Pak Yuda sesaat setelah Sastiana menempatkan selimut di atas tubuhnya dengan benar.

"Bapak bicara apa to. Ya Alen nanti ditemani sama Pak Yuda. Dia masih malu dan canggung sama aku, Pak."

"Nanti dia juga terbiasa. Sama aku saja masih canggung, Ti, masih kaku. Sama kamu begitu ya wajar."

Sastiana dan Pak Yuda sama-sama tertawa kecil. Nana sudah melipir duduk di sofa, tepat di sebelah Alen. Lelaki itu sama sekali tidak bicara, hanya sesekali tertawa dan tersenyum.

"Nikahkan dia juga Ti, aku mungkin nggak bisa lagi menikahkan dia."

Sastiana menggeleng pelan, tetap tersenyum meski paham kenapa seorang lelaki tua yang hanya bisa berbaring itu bicara demikian.

"Alen nanti nikah Pak Yuda masih di sini, nggak usah takut. Ya, Mas Al?" Sastiana menatap Alen dengan tatapan jenaka. Alen cuma tersenyum dan mengangguk sebentar.

"Belum ada calon Ti, kamu mau carikan?" tanya Pak Yuda setengah bercanda. Napasnya memberat saat berkata lagi, "Aku juga mau lihat dia menikah, biar ada teman di rumah. Tapi nggak bisa paksa juga kalau belum punya calon. Sekarang ini aku sudah nggak bisa bantu carikan anak gadis buat anakku Ti."

"Sudah, sudah. Bapak ini bicaranya makin ngelantur. Istirahat saja dulu. Besok aku carikan calon untuk Alen."

"Benar ya Ti? Sebelum aku kehabisan waktu, kamu bisa carikan buat Alen?"

Sastiana mengangguk saja, membantu Pak Yuda untuk terlelap. Lelaki tua yang hanya punya satu anak, ditinggal istri meninggal sejak lama, dan khawatir akan meninggalkan putra semata wayangnya. Barangkali perasaannya sama seperti dia terhadap Nana. Takut jika sewaktu-waktu dia sudah tidak mampu melakukan apa-apa lagi dan Nana masih bertahan untuk sendiri.

"Nggak ada yang bantu jaga, Mas?" tanya Sastiana setelah memastikan Pak Yuda tertidur pulas.

"Ada Bu, kemarin Om sama Tante datang. Sekarang lagi repot katanya."

The Wedding Planner (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang