17. Cemburu Buta

7.1K 898 76
                                    

"Itu cuma ciuman, Ibu. Ciuman. Masa cuma gitu aja langsung nikah sih? Kan nggak hamil!"

Sastiana menekan keningnya. Pusing banget punya anak seperti Nana, Gusti... sudah cemburuan, merasa nggak pantas, rela disentuh Alen, tapi masih ngelak nggak mau nikah.

"Alen aja mau nikahin kamu, kok kamu ngotot nggak mau."

"Pak Alen kan memang sudah usianya nikah, ya pasti dia mau lah. Aku masih anak-anak gini," sahut Nana kesal.

"Anak-anak kok mau bikin anak. Waras gitu lho, Na, Ibu dulu pacaran aja nggak sampai berani ciuman."

Ya ampun! Ya jelas beda gaya pacaran dulu sama sekarang dong. Masalahnya, Alen juga sudah bujuk ibunya biar nunda pernikahan minimal dua bulan lagi, tapi ibunya tetap ngotot. Nana belum siap.

"Ibu kan dulu sama ayah udah cinta tuh, nah aku sama Pak Alen kan enggak." Nana mencoba peruntungan lagi.

Sastiana berdecih. "Siapa bilang Alen nggak cinta sama kamu? Kalau nggak cinta ya pasti nggak mau nikah sama kamu, Na. Yang mau nikah sama dia aja banyak. Cantik, modis, lebih keren lagi."

Nana tidak tahu kalau Alen secinta itu padanya. Akan tetapi tetap saja Nana belum mencintai Alen.

"Ibu yang paling tau kalau Mas Alen itu naksir sama kamu, dari zaman kamu masih jadi pacar Andra. Eh, pas kamu kuliah pertama dulu masih pacaran sama Andra kan?"

"Enggak! Udah putus!" Nana menjawab judes. Wajahnya mencebik kesal.

"Berati kondisinya kamu sudah jomblo dulu, tapi Mas Alen bilang kamu pacarnya Andra."

"Kok dia bisa tau sih, Bu?" Nana melotot lebar, dan sedetik kemudian merengut.

"Ya mana Ibu tau. Pas Ibu mau kenalin sama kamu, bilangnya kamu pacar Andra. Dia nggak mau jadinya."

Udah tahu Nana dari lama dong? Terus kenapa lagaknya tidak mengenal Nana gitu? Terus pakai tanya Andra itu mantan Nana betulan atau bukan pas di pernikahan Sasikirana.

"Makanya Ibu tau kalau suami Sasikirana mantanku?" tanya Nana menyadari sesuatu. Sastiana mengangguk setuju.

"Makanya kamu bayangin, dia naksir kamu dari zaman purba, sampai sekarang mau nikahin kamu. Kamu mau tunggu beberapa bulan lagi dia masih turutin, bujuk-bujuk Ibu. Dia kurang yang gimana Nana?"

Nana mencebik lagi, dia juga tidak tahu mau yang bagaimana. Alen sudah cukup sebenarnya, meski Nana kurang suka dengan sifat mengalahnya. Ya ampun, Nana mau diyakinkan Alen gitu lho maksudnya. Namun lelaki itu justru minta maaf waktu Nana bilang nggak mau nikah secepatnya.

"Udah lah terserah kamu. Kalau nggak mau sebulan lagi ya udah nggak usah nikah. Biar Ibu suruh Mas Al nikah sama perempuan lain aja. Kamu pikir dia masih muda. Dia sudah tua, Nana, harusnya sudah punya anak. Bukannya masih repot bujukin kamu biar mau nikah."

"Ibu kok gitu sih?!" Nana mengerang protes. Menikah kan bukan urusan gampang, ya jelas harus melewati proses seperti ini. Kalau tiba-tiba mau nikah, terus cerai, ya buat apa.

"Ya daripada Ibu biarin Mas Al jadi bujang kelamaan. Mending cari perempuan lain. Ngapain nungguin kamu?"

"Nggak gitu juga, Ibu!"

"Nah, kan. Disuruh nikah lagaknya nggak mau, Alen mau nikah sama orang lain nggak boleh. Kamu jangan plin-plan, mau ya mau enggak ya lepas."

Nana menatap ibunya yang berjalan ke kamar dengan sinis. Dia masih duduk di sofa, menghadap televisi. Mana mungkin Alen bakal menikah sama perempuan lain? Ya Nana nggak akan biarkan itu terjadi. Alen sudah mengambil ciumannya, jadi Alen juga yang harus menjadi pelabuhan terakhir bibirnya.

The Wedding Planner (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang