Bab 9

8K 922 7
                                    

Sesampainya di kafe, Tara langsung menghampiri Dimas yang saat ini bertugas sebagai kasir. "Lo sakit? Kok mukanya pucat, tegang, kayak nggak nyaman gitu kenapa sih?"

"Mbak Tara akhirnya ke sini lagi," sahut Dimas. Ketegangan yang tadi menyelimuti dirinya berangsur cair saat melihat pemilik kafe datang.

Tara mengernyit. Dari gerak-gerik Dimas, Tara curiga telah terjadi sesuatu selama ia pergi. Tapi, saat mengamati Hanum yang bekerja dengan santai dan tetap ramah pada pengunjung kafe seperti biasa, Tara rasa yang bermasalah bukan kafenya, melainkan Dimas.

Sadar atasannya sedang bingung, Dimas segera menjelaskan, "Aku nggak biasa jaga kasir, Mbak. Bawaannya daritadi takut terus. Kalau aku kelebihan ngasih kembalian gimana?"

Tara tertawa kecil setelah mendengar penuturan Dimas. "Tapi aman, kan?"

Dimas mengangguk meyakinkan. "Aman. Untungnya lumayan banyak yang bayar pakek kartu. Tapi aku nggak bisa cekatan kayak Nisa."

"Iya, nggak apa-apa. Makasih ya, Dim," kata Tara. Lalu ia memakai apron dan bersiap menggantikan Dimas.

"Keadaan Nisa gimana, Mbak?" tanya Dimas setelah ia beranjak dari area kasir. "Tadi aku sempat baca pesan di grup Whatsapp katanya Nisa sekarang untuk sementara waktu tinggal di rumah Mbak Tara dulu ya?"

Bukannya menjawab, Tara justru menepuk keningnya. Tara baru ingat belum memberi tahu orang-orang di rumah bahwa ia pergi ke kafe.

"Kenapa, Mbak?" Dimas kaget karena salah mengartikan reaksi Tara.

"Nggak apa-apa. Keadaan Nisa masih lemes, pasti badannya masih sakit semua. Gue cuma kaget karena baru inget tadi nggak pamit kalau mau pergi ke kafe. Soalnya gue nggak niat balik ke sini lagi, tapi tiba-tiba kepikiran. Jadinya ke sini deh," jelas Tara.

Hanum datang sembari tersenyum penuh arti pada Tara. "Sampek lupa nggak pamit pasti karena exited. Soalnya dianterin sama Mas Roy."

Mata Dimas membola. Wajahnya secara otomatis langsung berubah penasaran. Untuk masalah info terkini, jiwa antusias Dimas memang sefrekuensi dengan Hanum. "Mas Roy karyawan baru itu, Num?"

Tara melihat Hanum mengangguk. Tara heran kenapa Hanum terlihat bangga saat menyampaikan berita ini. "Udah ya nggak usah pada heboh. Roy itu tetangga gue. Dia tadi katanya mau keluar juga, ya udah sekalian bareng," ujar Tara.

Hanum masih terlihat kurang percaya dengan penjelasan Tara. "Tapi, kok langsung akrab?" tanya Hanum.

Sambil menopang pipi, Tara tersenyum ketika Hanum berusaha terus mengorek informasi darinya. "Kenapa langsung akrab? Karena Roy itu temen sekolah gue. Jadi, pada zaman dahulu, gue, Tari, Mela, Roy, itu sekolah di SMA yang sama."

"Oh, gitu," sahut Dimas dan Hanum bersamaan.

Tara berdeham, ia berupaya membuat suasana kembali kondusif. "Oke, saatnya balik kerja."

Hanum lekas pergi membereskan meja yang baru saja ditinggal pengunjungnya. Sedangkan Dimas tetap berdiri di depan meja kasir karena ingin menyampaikan sesuatu. "Mbak, sebagian besar testimoni pengunjung tadi bilang nastarnya enak."

Tara memijat pangkal hidungnya. Satu lagi hal yang terlupakan. Ia benar-benar tidak mengingat kalau punya tanggung jawab memasarkan nastar milik Tante Ida. Kejadian satu hari ini sangat menguras energi sehingga ia tidak bisa fokus menangani pekerjaannya.

"Mbak Tara pusing?" Dimas terlihat serba salah. Ia ingin mengecek suhu badan Tara, tapi secara bersamaan ia juga merasa segan jika harus menyentuh dahi sang atasan.

Tara kembali menegakkan badan. "Enggak, Dim. Makasih ya, hari ini lo banyak bantu gue. Syukur deh kalau respon orang-orang positif. Nanti gue kabarin Tante Ida."

Breadcrumbing [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang