"Makasih, ya, Tara, kamu mau bekerjasama dengan Tante."
Tara mengangguk dan tersenyum. Ia dan Tante Ida baru saja mendiskusikan masalah pembagian hasil penjualan nastar. Akhirnya Tara menerima Tante Ida sebagai mitra kerjanya. Karena selain pengunjung kafenya menyambut baik, Tara juga sudah mencoba memasarkan nastar buatan Tante Ida kepada teman-teman kerja papanya, dan respon yang diberikan juga sangat melegakan. Mereka bahkan langsung memesan beberapa stoples untuk persediaan camilan di rumah.
"Sama-sama, Tante. Saya cuma—"
"Maaf, Ra." Tante Ida menyela.
Tara seketika mengatupkan bibirnya dan menatap wanita di hadapannya itu dengan sorot mata penuh tanya.
"Kalau ngobrol sama Tante santai aja ya. Jangan pakek 'saya' gitu dong," usul Tante Ida.
"Terus gimana Tante?" Tara bertanya dengan linglung.
Tante Ida tersenyum gemas. "Sebut aja diri kamu 'aku'."
Tara menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan. Ia lalu menatap lawan bicaranya dan bersiap melaksanakan perintah. "A-aku cuma sedikit membantu mewujudkan keinginan Tante. Soalnya kata Roy, Tante sering bosan kalau di rumah sendirian. Lagian, nastar buatan Tante juga enak. Langsung banyak yang suka.
"Nah, gitu. Kedengarannya kan lebih akrab." Tante Ida mengelus tangan Tara yang ada di atas meja.
Tara tidak pandai berbasa-basi dengan orang tua. Maka, lagi-lagi ia hanya mengulas sebuah senyum untuk menanggapi kata-kata Tante Ida. "Jadi, untuk kemasannya kita sepakat pakai stoples mika bundar yang bisa memuat nastar 600 gram, ya, Tante?" tanya Tara. Daripada ia bingung, lebih baik mengalihkan obrolan kembali pada pekerjaan.
Tante Ida untungnya langsung fokus dan segera menjawab, "Iya. Sepakat."
Tara menutup laptop dan merenggangkan tangannya."Baik. Besok kita lanjutkan diskusinya sekalian tanda tangan surat perjanjian kerja," tandasnya.
Setelahnya Tara mempersilakan Tante Ida untuk menyantap hidangan yang ia sediakan. Sembari makan, mereka melanjutkan obrolan mengenai hal-hal ringan. Keduanya terus larut dalam percakapan sampai tidak menyadari Roy yang baru pulang dari kantor mampir ke kafe.
"Loh, Ma? Udah lama?" Roy menghampiri mamanya.
Tara buru-buru mengecek keadaan sekitar. Jangan sampai Dimas atau Hanum mendengar Roy memanggil Tante Ida dengan sebutan Mama. Tara tidak mau semua pegawai di kafenya yang sudah percaya jika Tante Ida adalah teman arisan mamanya mendengar percakapan Roy sore ini.
"Iya, ini tapi udah siap-siap mau pulang." Tante Ida lekas berkemas.
Tara yang melihatnya tentu langsung merasa aneh. Sebelum Roy datang Tante Ida sama sekali belum ada niatan untuk menyudahi pertemuan. "Kok buru-buru, Tante?" tanya Tara.
"Papanya Roy sebentar lagi pasti juga pulang kerja. Sekarang kamu gantian, ya, ngobrolnya sama Roy aja. Terima kasih untuk hari ini." Tante Ida berdiri lalu menepuk-nepuk pundak Tara. Sebelum keluar, ia masih sempat memberi kode lewat tatapan mata pada Roy agar anaknya itu menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Tentu kesempatan pendekatan dengan Tara maksudnya.
Roy hanya menggelengkan kepala saat melihat tingkah mamanya. Padahal ia sudah berpesan agar mamanya itu tidak memaksakan idenya. Tapi sang mama tetap bersikeras ingin melihat Roy dan Tara bersatu.
"Hati-hati, Ma." Roy berpesan. Setelah itu ia menduduki bangku bekas mamanya tadi dan memperhatikan Tara di depannya yang tetap diam. "Tadi bahas nastar?"
"Iya," jawab Tara singkat.
"Selain bahas nastar, ada lagi yang dibicarain?" Roy memasang ekspresi setenang semilir angin di pagi hari meski hatinya sekarang sedang cemas. Ia khawatir mamanya tadi menggiring Tara untuk membahas "perjodohan" mereka. "Bukan mau kepo sih, soalnya Mama kalau ngobrol kadang suka lupa waktu. Takutnya lo nggak terbiasa diajak ngomong terus-terusan," tambah Roy untuk beralasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breadcrumbing [END]
RomanceSegalanya berjalan mulus saat Roy ternyata memilih pindah ke luar kota setelah lulus SMA. Menjauhnya laki-laki itu membawa angin segar bagi Tara. Usahanya untuk berhenti menyukai Roy menjadi lebih gampang. Namun, ketika bertemu kembali dengan Roy, k...