"Lo ngapain ke sini? Kafe udah tutup," kata Tara berusaha tetap sabar meski sebenarnya ia mendadak kesal.
"Aku mau jemput kamu."
Semua karyawan Tara yang mendengar ucapan itu sontak berpandangan satu sama lain dan saling melempar senyum penuh arti. Tara yang melihatnya menjadi jengah sendiri.
"Tapi gue bawa motor." Tara menolak sembari mengedikkan kepala ke arah tempat parkir, agar laki-laki di depannya ini melihat motornya berdiri di sana.
"Iya aku tahu. Tadi aku ke rumah kamu, ternyata kamu belum pulang. Jadi aku ke sini naik taksi, mobilku aku tinggal di rumah kamu dulu," jawab laki-laki itu.
Tara mencengkeram jaketnya dengan erat untuk melampiaskan emosinya. "Lo tuh kurang kerjaan banget sih!"
"Kamu lupa kalau malam ini kita ada janji dinner? Makanya aku tadi ke rumah kamu."
Tara menelan ludahnya dengan susah payah ketika mendengar penjelasan barusan. Ia benar-benar lupa kalau jam tujuh tadi mestinya ia pergi untuk memenuhi ajakan makan malam yang kemarin sudah ia setujui. "Kafe tadi rame banget makanya gue lupa. Lo juga nggak telepon atau WA buat ingetin gue," kata Tara beralasan.
Laki-laki itu tersenyum tipis. Bukannya marah, ia malah makin dibuat gemas dengan sikap Tara. Meski pihak perempuan yang salah, tapi ujung-ujungnya mereka tetap mencari kekeliruan dari laki-laki. "Iya, maaf aku juga sibuk sama kerjaan jadi nggak sempet telepon. Tapi nggak apa-apa, jadinya tadi aku ngobrol-ngobrol sama orang tua kamu."
Helaan napas lelah keluar dari mulut Tara. "Terus sekarang gimana?"
"Kita pulang bareng. Naik motor kamu."
Tara hendak protes lagi, namun urung karena ingat bahwa masih ada karyawannya yang masih belum pulang. Pasti mereka daritadi sungkan jika ingin pamit dan menginterupsi percakapannya dengan anak teman Mama ini.
"Kalian boleh pulang duluan," kata Tara pada Dimas dan lainnya dengan intonasi lebih bersahabat.
Dimas yang masih asyik menonton interaksi Tara dan seorang laki-laki yang akhir-akhir ini sering ke kafe pun tergagap. Nisa segera menarik tali tas ransel Dimas agar temannya tidak terus-terusan bengong. Hanum pun mengambil alih atensi karena dua teman kerjanya malah bertingkah norak.
"Kalau gitu kita pamit, Mbak. Mari, Mas Nao, kita duluan," Hanum mendorong-dorong teman-temannya agar segera pergi.
Noval atau yang akrab disapa Nao itu tersenyum hangat pada karyawan-karyawan Tara. "Hati-hati," ujarnya.
Tara mau tidak mau segera memakai jaketnya. Ia lalu menyerahkan kunci motor pada Nao. "Ya udah nih. Ayo pulang."
Nao tersenyum senang. Ia lalu memakai helm yang tadi ia pinjam dari Papa Tara.
Sepanjang perjalanan Tara dan Nao hanya diam. Tara memang malas untuk membuka percakapan, sedangkan Nao bingung harus mengawali obrolan dari mana. Jujur sebenarnya ia masih tidak sepenuhnya mengerti dan memahami kepribadian Tara. Perempuan yang dikenalkan padanya ini sangat sulit didekati. Tara selalu bersikap dingin dan cuek meski Nao berusaha membangun ikatan.
Di belakang Nao, Tara duduk dengan tegap. Tangannya terlipat rapi di depan dada. Terlihat jelas bahwa ia berusaha menjaga jarak. Tara menerima upaya pendekatan Nao ini semata-mata hanya karena ingin menghargai usaha mamanya saja. Untuk lanjut ke tahap serius hati Tara sama sekali belum terbuka. Saat bertemu Nao perasaan Tara pasti langsung kesal.
Bukan marah kepada Nao, namun Tara lebih kecewa pada diri sendiri yang tidak bisa menerima kehadiran lelaki itu. Maka ia selalu terlihat bersikap ketus saat di hadapan Nao.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breadcrumbing [END]
RomansaSegalanya berjalan mulus saat Roy ternyata memilih pindah ke luar kota setelah lulus SMA. Menjauhnya laki-laki itu membawa angin segar bagi Tara. Usahanya untuk berhenti menyukai Roy menjadi lebih gampang. Namun, ketika bertemu kembali dengan Roy, k...