Tara duduk dengan gelisah. Sesekali ia menengok ke dalam kafe, melihat Dimas dan Hanum yang sudah selesai beres-beres. Jam di pergelangan Tara pas menunjukkan pukul sepuluh malam. Tara lega para karyawannya bisa pulang tepat waktu. Tapi laki-laki di depannya ini membuat Tara kembali dilanda kebingungan. Tara menyugar rambutnya lalu melipat tangannya di atas meja. Perempuan itu menegakkan badan dan memberanikan diri menatap Roy yang masih setia menekuk wajahnya.
"Nyatanya gue dibutuhin lagi disaat dia terpuruk. Bodohnya gue masih mau bantu." Roy tiba-tiba bersuara. Bibirnya tersenyum getir. Matanya menengadah ke atas, sangat jelas sedang menahan buliran bening agar tidak jatuh di pipinya.
Pandangan Tara tetap lurus menatap Roy. Terlebih lagi Tara kaget karena ini pertama kalinya ia melihat Roy sedih dan hampir menangis. Meski ia sama sekali tidak mengerti kalimat yang baru saja meluncur dari mulut Roy tertuju pada siapa, tapi Tara cukup tahu bahwa itu adalah ungkapan dari seseorang yang sedang sakit hati.
"Udah malam, Roy. Lo butuh istirahat. Ayo pulang. Di mana motor lo?" tanya Tara. Lebih baik ia menyuruh laki-laki itu untuk segera kembali ke rumah daripada dia terus-terusan melamun tidak jelas di kafenya.
"Kalau belum ada orang lain, gue masih bisa maklum kenapa gue tiba-tiba dibutuhin lagi. Tapi posisinya sekarang udah ada seseorang yang mestinya bisa memenuhi semua keinginan dia. Apa nyari gue untuk sekalian pamer?" Roy kembali meracau.
"Mbak, kita mau pamit pulang duluan," seloroh Hanum yang baru keluar.
Tara segera berdiri menghampiri Hanum. Ia menyerahkan kunci cadangan kafe. "Gue besok datang agak siang. Lo buka sendiri ya, Num. Selama gue belum datang, kasirnya biar dipegang Dimas," kata Tara memberi pengarahan.
"Siap, Mbak."
Tara kembali duduk menemani Roy setelah semua karyawannya pulang.
"Roy, gue nggak tau lo lagi punya masalah sama siapa. Bukannya gue nggak mau dengar curhatan lo, tapi kayaknya lo masih butuh waktu sendiri. Jadi saran gue mending sekarang kita pulang. Besok mumpung weekend, lo bisa refreshing biar pikiran lo nggak penat lagi." Tara bergerak untuk mengajak Roy agar segera berdiri.
Roy bangkit dari duduknya tanpa melawan. Namun sejurus kemudian ia mencengkeram kedua lengan Tara dengan erat. Sorot matanya berkilat tajam. Seluruh emosi yang sedang ia rasakan seolah terkumpul di manik hitamnya. Tara bisa melihat puncak luapan rasa dendam yang Roy tahan selama ini. "Kenyataan kalau dia masih butuh gue meski udah ada yang lain bikin gue makin benci sama dia!"
Meski amarah laki-laki di depannya ini bukan ditujukan untuknya, tapi mendengar Roy berkata dengan kasar tetap membuat nyali Tara menciut. Tara lalu berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Roy.
"Ya ampun, badan lo kok panas?" Tara terkejut saat telapak tangannya menyentuh jari-jari milik Roy.
Roy hanya menanggapi dengan gumaman yang tidak jelas. Tara mendesis kesal pada dirinya sendiri karena bukannya cepat berbuat sesuatu tapi ia malah keburu panik.
Tara menoleh ke area parkir. Di sana tetap tidak terlihat kendaraan milik Roy. "Motor lo di mana sih? Pulangnya lo gimana?" tanya Tara bingung. Ia tidak bisa berpikir dengan tenang.
"Gue nggak bawa motor," jawab Roy dengan suara lemah.
Tara menghela napas berat. Kemudian dengan gegas Tara masuk ke dalam kafe untuk mengambil barang-barangnya. Ia keluar lagi tidak lama kemudian sembari menjinjing tas dan jaket. Setelah mengunci pintu kafe dengan gerakan kilat, Tara segera menghampiri Roy. Ia terpaksa membawa laki-laki itu pulang dengan motornya.
"Biar gue aja yang bawa," kata Roy saat melihat Tara sudah siap di atas motor.
"Lo lagi sakit gitu masa mau bawa motor? Udah sini naik." Tara menepuk jok belakang motor yang kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breadcrumbing [END]
RomanceSegalanya berjalan mulus saat Roy ternyata memilih pindah ke luar kota setelah lulus SMA. Menjauhnya laki-laki itu membawa angin segar bagi Tara. Usahanya untuk berhenti menyukai Roy menjadi lebih gampang. Namun, ketika bertemu kembali dengan Roy, k...